Total Tayangan Halaman

Minggu, 02 Januari 2011

Oh, Parinem Ayu

Oh, Parinem Ayu
Ayu citra wajah desa
Ayu hati belumlah pasti
Ayu laku menyibak kaku
Ayu Rupa lupa biasa
Ayu putri seorang diri
Ayu waktu membawa haru

Oh, Parinem Ayu
Hanya ayu sesaat namun jalan maksiat


Yogyakarta, 2 Januari 2011
Setelah Membaca "Indonesian Human trafficking"

Sabtu, 01 Januari 2011

Tambal Ban

Tempat tinggalnya reot dan halaman depannya penuh dengan sampah plastik dan kardus. Dirinya begitu kumal dan berdaki seakan bertahun-tahun tidak mandi. Ember adalah sahabatnya. Tuas tambal ban adalah kakaknya. Gulungan ban untuk tambalan adalah kulitnya. Ia bekerja hanya sekedar melayani kebocoran. Orang akan banyak berpikir lebih baik mengganti ban daripada menambalkannya. Darsono namanya, tukang tambal ban asal wonogiri yang membuka praktek di Jagakarsa, Jakarta Selatan.
       Ia tak ingat lagi siapa keluarganya. Anaknya pergi. Istrinya dibunuh orang. Hanya rokok dan seperangkat radio tua yang menjadi teman curhatnya. Terkadang beberapa tukang ojek dan penjual jamu yang mengadu nasib di daerah jakarta selatan menjadi sahabatnya untuk mengobrol. Hasil kerjanya mungkin hanya cukup untuk menghidupi dirinya seorang. Rumah reot itu memiliki sejengkah halaman yang dipajang dengan tulisan, "Tambal Ban Motor". Sebenarnya ia juga menyediakan ban baru untuk mengganti, tetapi hanya musiman ketika tengkulak berani menjual murah kepadanya. Nafas dan jiwanya hanya untuk menambal karena sekelumit  tambalan ban berarti sebungkus nasi rames kesukaannya dengan teh manis dan rokok Djarum 76. Motor dengan ban bocor adalah sasarannya, tetapi teramat sangat jarang. Kalaupun ia menderita sakit, ia hanya bisa merebahkan badan atau meminta balsem dari tukang bensin di sebelahnya.
      Darsono namanya, tukang tambal ban yang berpenampilan tidak menarik. Dekil dan bau seperti orang yang terasing di antara orang mendekati keasingan lain. Tangan tuanya selalu berurat. Tangan kanan menjaga tuas bakar untuk menambal, tangan kirinya menjepit rokok kesayangannya. Tarif sekali tambal adalah 5 ribu rupiah, kalau sebulan saja bisa mendapat 650 ribu ia sudah sangat bersyukur karena 200 ribu saja untuk pemodalan minyak tanah, ban tambalan, dan lainnya.
         Pada suatu siang, motor Honda yang disebut "monthor lanang" mengalami kebocoran pada ban belakang. Pemiliknya adalah seorang pegawai kantoran, tentunya mencari tambal ban dengan tujuan mengganti ban bukan untuk menambal ban. Dengan perasaan terpaksa ia mampir ke gubuk milik darsono. Mengapa terpaksa? Ia hanya meyakini tempat reot seperti ini pasti memiliki kualitas ban yang sangat jinthiran, atau bahkan ia berpikiran bahwa darsono hanya akan menambal bannya bukan menggantinya. Pemilik monthor lanang  itu sempat kecewa karena Darsono tidak meyediakan ban dalam  motor tiger ukuran belakang. Sang Pemilik berpikiran bahwa ditambal mungkin untuk sementara. Ia akan ke bengkel resmi untuk menggenahkan nasib bannya supaya lebih pasti dan lebih panjang umur.
        "Pak, dekat sini ada bengkel resmi yang jual ban resmi? Ini saya tambal dulu aja lah, buat sementara"
         Darsono hanya menjawab, "yahh, depan situ sekitar 2 kilo lagi ada bengkel resmi, bapaknya mau ganti ban? jadi ditambal?"
         "hasyaaahh, pake tanya lagi..... udah tambal aja, tambal yang bagus, paling gak awet-awet banget khan? makanya ini untuk sementara nanti aku ganti yang baru! udah tambal aja buat alas langkah dua kilo ke depan!"
       Tanpa banyak bicara Darsono menambalnya dengan fokusnya. Tiap detail ban ia perhatikan dengan teliti. Ia bahkan membaca doa dalam menambal ban itu. selesailah pekerjaan menambal ban belakangnya.
       "Sudah pak, lima ribu harganya.", kata Darsono sambil tersenyum ramah dengan gigi kuning bekas rokok itu.
       " kamu punya kembalian? uangku 100 ribu?"
       " wah, enggak ada pak, ya sudah dibawa saja uangnya, lain kali saja!"
       "Lain kali? mau gak dibayar? ya nggak apa-apa kalo gitu aku yo malah nggak kelongan uang. Mau lain kali kapan? lain kali banku gak butuh tambalan lagi pak!"
         Darsono hanya menerima kalimat itu dengan sedikit trenyuh. Ia membalasnya dengan ramah dan mengatakan, "ya sudah, tidak apa-apa, hati-hati ya pak, di depan itu dua kilo lagi ada bengkel resmi."
         Dua kilo memang dekat untuk ukuran motor honda besar itu. Pemilik motor itu sampai pula di bengkel resmi. Bengkel resmi memang beda dengan gubuk Darsono. Bentuknya seperti pit stop sirkuit. Kasirnya ramah dan cantik dengan rok ketat di atas paha, padahal kampung asalnya juga Wonogiri. Mekaniknya sungguh terlatih karena mereka pernah bersekolah.
         Dengan nada yang sedikit lebih wangun, pemilik motor itu memohonkan mengganti ban. "begini nih, tadi ban saya bocor, saya tambalin deh, nah... khan saya takut bocor lagi, makanya saya minta ganti ban saja daripada ban saya berresiko!"
        "Silahkan bapak tunggu di ruang tunggu, setelah selesai, mekaniknya akan menghubungi bapak."
         Giliran motor honda besar bernama tiger itu dilepas ban belakangnya. Dibuka isi ban luar dan dikeluarkan ban dalamnya. Mekanik itu hanya heran dan mengernyitkan dahinya. Mekanik itu kemudian menghampiri pemilik motornya sambil mengatakan, "Pak, ini serius mau diganti? bannya masih sangat baru seperti ini, sepertinya ini baru jalan dua kilo."


Depok, 11 Oktober 2010
Sedikit berlatih untuk menulis Cerpen, mohon masukkan dan saran yah,
Silahkan menangkap arti dan inti cerita yang saya buat..
Norman Mahardhika Agustinus

Natal Untuk Rukmi

Sudah tiga bulan ia terbaring di rumah sakit. Tiga bulan lagi dokter memprediksi bahwa ia akan mati. Ia adalah anakku. Anakku, Maria Magdalena Rukmi. Umurnya sembilan tahun. Ia sakit pendarahan liver sejak tiga bulan yang lalu dan kubawa ke rumah sakit dengan masih menanggung hutang untuk rumah sakit. Tak mengapa, saat hari natal tiba, aku pasrah saja. Nasibnya ada di tangan Kristus.Tiga bulan lagi adalah hari Natal.

                                                                                      ***
   Setiap ia terbangun dari tidur, ia selalu mengigau tentang sekolahnya yang ditinggalkan sejak ia masuk rumah sakit. Terkadang ia bertanya kepadaku, "Ayah, aku ingin sekolah! apakah aku masih bisa sekolah? Aku ingin bermain dengan Cindy dan Putri!". Pertanyaan itu selalu diulangi dari waktu ke waktu. Dengan jawaban yang sama tanpa mengklarifikasi kebenaran jawaban, aku menjawab, "Ya, pasti anakku, pasti! Nanti kalau sudah sembuh, kamu pasti bisa masuk sekolah dan bermain lagi!". Setiap jam di samping tempat tidur anakku, aku menjaganya bersama istriku, Tanti. Tanti terus menerus melanjutkan Novena. Setiap pagi di gereja, ia selalu menengadah kepada Bunda Maria dan melanjutkan novena. Walaupun dokter mengatakan bahwa nyawa Rukmi akan berakhir beberapa hari sebelum hari natal, Tanti tetap berdoa. Tak mengapa, saat hari natal tiba, aku pasrah saja. Nasibnya ada di tangan Kristus. Lima bulan lagi adalah hari Natal.
   Perusahaan tempatku bekerja sedang mengalami ujian berat. Target keuntungan perusahaan gagal. Perusahaan sedang menanggung utang yang besar. Untuk meringankan beban perusahaan, perusahaan memecat beberapa karyawan. Aku adalah salah satunya. Aku hanya dibekali uang pesangon yang sangat tidak manusiawi. Melalui penuturan ini, aku tak akan menyebutkan nominalnya. Aku dipecat saat Rukmi dirawat selama sebulan. Sulit? Kata sulit memang yang sedang kualami. Sebulan telah lewat dan biaya perawatan rukmi beserta biaya operasi, infus, hemodialisa, dan obat-obatannya akan mendaftarkan diri untuk ditagihkan kepadaku. Aku hanya bisa memegang gambar wajah Yesus dan merenungi nasib sambil berdoa. Tak mengapa, saat hari natal tiba, aku pasrah saja. Nasibnya ada di tangan Kristus. Empat bulan lagi adalah hari Natal.
    Meski dokter telah mengatakan bahwa nyawa Rukmi tinggal empat bulan lagi, aku dan Tanti tidak tinggal diam. Untuk menebus utang-utang Rumah Sakit, aku mendaftarkan diri sebagai kasir di restoran waralaba di kawasan nongkrong anak muda, daerah Jakarta Selatan. Tanti membuka usaha membuat sarung untuk dipakaikan pada buku lagu gereja, Puji Syukur. Selain itu, Tanti juga menjual kriya karyanya seperti sulaman taplak meja, merajut rosario, dan menjadi suplier  barang-barang rohani. Tanti memang aktif di gereja, tetapi aku tidak. Ah, yang penting aku tetap mencintai Yesus. Aku bekerja dari pagi sampai sore dengan bayaran yang menurut aku cukup untuk menutupi utang-utang rumah sakit. Aku juga mendapat pinjaman dari adikku untuk biaya perawatan Rukmi. Dari hasil yang aku kumpulkan bersama Rukmi dan adikku, Hernowo, pasti cukup untuk merawat Rukmi. Asal rukmi tetap stabil pada kondisinya, pasti biayanya tidak lagi bertambah. Tetapi, dokter telah mengatakan bahwa nyawanya akan berakhir sebelum hari Natal. Tak Mengapa, ketika hari natal tiba, aku pasrah saja. Nasibnya ada di tangan Kristus. Ya! memang tiga bulan lagi ia akan meninggalkan dunia! uang yang aku kumpulkan saja baru hasil selama dua minggu terakhir di bulan ini.
     "Ayah, apakah Rukmi bisa bersekolah sekarang?" Rukmi tiba-tiba terbangun dari tidur sorenya. Aku kaget dan melihat dia nampak segar ketika bangun tidur. "Belum nak, sekarang saja masih sore."
"Kalau besok pagi, bagaimana yah?"
     "Besok Pagi? Nak, kamu belum sembuh total, biarkan saja kamu sembuh terlebih dahulu! sambil menunggu sembuh, kamu makan yah!" kusuapi dia dengan makanan rumah sakit yang telah terjamin nutrisinya.
"Tetapi, Rukmi sudah janji dengan bu Prudentia kalau Rukmi akan bernyanyi di natalan sekolah. Rukmi harus latihan bersama teman-teman."
      "Nak, kalau kamu belum sembuh, jangan paksakan dirimu dulu. yaudah, kalau begitu sekarang kita berdoa yuk, dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus, amin, Tuhan....."
Setiap hari ia tidak pernah kuberitahu bahwa ia akan meninggal. Tetapi dokter sangat sulit untuk diajak bertemu. Dia pergi ke Surabaya untuk menangguhkan tesisnya dan dia akan menjadi Dr.dr. Doktor, Dokter... nyawa anakku sudah kugantungkan melalui tangan dokter sebagai perantara Tuhan. Aku hanya meyakini, yang menyembuhkan ataupun yang menentukan adalah Tuhan, dokter hanyalah medium. Tak mengapa? Aku semakin takut! Dua bulan lagi nyawa anakku ini diprediksi akan berhenti bernaung di tubuhnya. Penghasilan sementaraku setiap pagi hingga sore seolah-olah tak berarti bagi anakku, begitu juga Tanti. Tetapi, Nasibnya ada di tangan Kristus. Aku pasrah saja. Dokter? siapakah kamu?

                                                                                        ***
Hari ini masuk minggu pertama adven. Dokter telah kembali dari penangguhan tesisnya. Ia meraba-raba anakku dan memeriksanya. Beberapa menit ia mengatakan kepada aku dan Tanti, "maaf Pak dan Bu, kami sudah mengusahakan yang terbaik, tetapi nyawa Rukmi memang tinggal tiga minggu lagi. Semoga Bapak dan Ibu tetap tabah menerima ini semua, nah untuk masalah pembayaran, silahkan Bapak dan Ibu mengurus di bagian ........."
   "Ya...ya..., saya paham, pasti akan saya bayar Dok."
               "Oke, pasrahkanlah kepada Tuhan. Selamat Malam"
  Kuakui pembicaraanku dengan dokter tidak membuat hati tenteram. Ia ternyata tetap bersikukuh dengan diagnosanya mengenai umur Rukmi. Belum lagi, ia menyuratkan pembayaran rumah sakit. Aduh, sabar ya! aku dan Tanti tidak serta merta memiliki uang yang banyak dalam waktu singkat.
   Kulihat anakku berkeringat di dahi. Batuk-batuk mulai santer terdengar. Tanti menangis di pundakku. Aku, hanya memandangi anakku. "Bu, ayo kita misa adven dulu, kita berdoa lagi ya!". Aku pasrahkan anakku untuk dijaga oleh adikku yang berbeda keyakinan denganku. Aku berdoa lagi dan memasang harapan pada Bunda Maria di gereja. Aku dan Tanti melanjutkan novena. Uang harus ada untuk perawatan anakku. Namun, nyawa anakku kupasrahkan kepada Kristus. Sebentar lagi, hari Natal akan tiba.
    Hari-hari kujalani seperti biasanya dengan kerja di restoran. Tanti tetap menjual di kios gereja. Tanti sedikit terhibur dengan banyaknya orang yang membeli sulaman kainnya dan replika pohon Natal. Dengan banyaknya pembeli, maka makin besar pula honornya. Belum lagi, Tanti mendapatkan uang hasil dari penggalangan dana gereja untuk membantu pengobatan Rukmi.
   Batuk-batuk dan keringat dingin mulai sering berlomba-lomba mengumandangkan diri dari tubuh anakku. Muntah Darah dan nafas yang tersengal-sengal sering diderita anakku. Aku mulai tak tega melihatnya. Sepertinya, diagnosa dokter benar. Yesus? Bunda Maria? Pengharapan? Sudah Pasrahkan saja, memang kalau benar demikian yang terjadi, aku sudah rela dengan keadaan yang demikian. Aku hanya bisa mengharap, suatu saat aku bisa bersamanya lagi di suatu tempat yang dijanjikan Tuhan. Dua minggu lagi, nyawa anakku diprediksi akan pergi dari tubuhnya. Aku Pasrah saja, nasibnya ada di tangan Kristus.
    "Ibuuuuuu, Ayaaaaaaahhhh, Rukmi merasa sakit! sakit sekali! Tuhan Yesuuuusss..... !"
       Aku tak tega. Tanti mengelus dan mengipasinya sambil menangis. Air matanya jatuh di dahi Rukmi. Perawat terus datang untuk menyuntikkan Peptisol. Setelah disuntikkan, beberapa menit kemudian redalah teriakan Rukmi. Kini ia tenang, kembali tidur. Keringatnya telah membasahi bantalnya. Bantal itu diganti dengan bantal yang baru.
   Tuhan, Kau jawab doaku kah?  Kau tahu rasanya menjadi aku? Ah, tak perlu kau merasakan apa yang aku rasakan. Kaulah Maha Kuasa, Maha Mengerti, Maha Mengasihi, Maha Menyayangi, Maha Pengampun, dan namaMu adalah Besar. Tuhan? Ialah anakku. Cepat sekali Kau akan panggil dia?
                                                                        ***
Hari ini tanggal Dua Puluh Empat. Besok adalah Hari Natal, Ya, esok adalah hari Natal. Semua keluarga bersuka cita sambil temu keluarga. Kini aku dan Tanti disamping tempat tidur anakku. Anakku, Rukmi masih sering muntah-muntah, bahkan semakin sering muntah-muntah. Aku semakin tak tahu apa yang harus kuperbuat sekarang. Doa, Uang, semuanya, demi anakku aku sudah sekuat tenaga mengusahakannya. Masih kurangkah usahaku? Memang, usahaku tidak sesempurna usaha Kristus dalam menapaki jalan salibNya. Yah, kalau memang usahaku masih kurang, Tuhan, ambillah nyawa anakku kalau memang aku bekum siap untuk merawat titipan ilahi dariMu.
            Pukul 00.00, aku terbangun dari tidur disamping tempat tidur anakku. Aku melihat wajah Rukmi begitu berseri-seri. Rukmi tampak mengenakan baju putih berkilauan dengan mata yang bersinar. Rukmi tersenyum kepadaku dan sekejap aku sedikit gentar. Aku bergegas berdiri dan ingin kuraih tangan Rukmi. Rukmi tersenyum kepadaku sambil mengulurkan tangannya. Kupegang tangannya. Ekstase? tanpa bicara...apa maksudnya? Tuhan?
                                                                      ***
Hari Natal telah tiba. Aku melihat Rukmi masih tertidur setelah semalam sempat memanggilku melalui ekstase yang terjadi. Kupegang kepala Rukmi. Setengah jam kemudian, ia membuka matanya dan tersenyum kepadaku. Tanti segera berdiri dan menghampiri Rukmi. Tanti di samping kanannya, aku disamping kirinya. Rukmi nampak sehat. Tangan Rukmi menginginkan rambut Tanti untuk dibelai.
       Kejadian ini?
    .....................................................................
"Ayah dan Ibu, Selamat Hari Natal ya! aku sayang ayah dan Ibu!




Jakartakota, 19 Desember 2010
Permenungan dan Doa.
Perjuangan dan Pengharapan.
Silahkan menikmati cerita pendek ini.
Kritik dan Saran sangat dibutuhkan.

Moonlight

Moonlight
            Lune. Gadis kecil berusia enam tahun. Dia adalah anak tunggalku. Wajahnya adalah cerminan dari wajahku, ibunya. Rambutnya yang flaxen dan pirang. Hidungnya seperti hidung ayahnya. Ah, ayahnya, seseorang yang menjadi pujaan hatiku sepanjang masa. Kini, suamiku, Robert berada di alam yang berbeda denganku. Lune, gadis kecil yang selalu bertanya tentang bulan indah ini; Bulan Juni. Ya, dia selalu penasaran dengan bulan Juni. Aku selalu melamun ketika bulan Juni. Air mataku selalu  berlinang di bulan Juni. Aku selalu teringat akan sesosok Robert. Robert Guarnere, dia keturunan Prancis.
            Aku dan Lune bak burung kondor yang hanya hidup dengan anaknya tanpa kehadiran sesosok pemimpin dalam keluarga. Ah, Juni. Terkadang aku begitu merindukan bulan Juni. Ketika bulan Juni datang, aku justru ingin keluar dari waktu-waktu di Bulan Juni. Tiga Juni. Hari itu hari Senin.
            Lune selalu bertanya di setiap malam sebelum ia pergi tidur. Lune selalu menanyakan siapakah ayahnya. Lune selalu merasa tidak lazim karena teman-teman sebayanya di sekolah memiliki ayah, sedangkan Lune tidak. Lune memang pernah memiliki ayah. Lune belum pernah melihat ayahnya. Robert pun belum pernah melihat Lune, anaknya yang tunggal itu.
            Setiap malam bulan Juni adalah malam indah karena sinar bulan selalu tersenyum di atas rumah ini. Kuajak Lune melihat sinar bulan di teras rumah. Lune hanya lugu mendengarkan ceracauku, khayalanku untuk bisa meraih bulan itu karena bulan itu selalu mengingatkan Robert, suamiku yang pergi entah kemana.
            “Lihatlah, anakku, bulan itu penuh dan begitu terang, aku jadi teringat akan Robert, ialah ayahmu nak.”
“Kenapa ibu tidak pernah menceritakan cerita tentang ayah? Lune punya ayah kan? Teman-teman Lune di sekolah punya ayah. Lune ingin melhat ayah!”
            “Nak, kelak ketika kamu cukup umur, kamu akan mengerti, siapakah ayahmu itu.”
“Ibu, Lune ingin bertemu ayah, pasti ia mengendarai mobil, pasti ia memiliki jenggot, pasti ia selalu menggandeng tanganku kalau ia mengantarku ke sekolah. Ibu, Lune ingin melihat ayah!”
            Setiap hari bulan selalu menampakkan wajahnya di bulan Juni. Juni, ialah bulan yang menyiksaku karena membuatku terkungkung dalam memori indah bersama Robert. Juni, bulan yang membuatku gila. Aku meracau, mengkhayal, berteriak-teriak, dan aku membayangkan Robert memelukku, membagi sapuan bibirnya untukku, dan perlahan membopongku ke kamar untuk menikmati hal yang manusiawi. Aku gila!
              Aku gila! Ya aku selalu mengkhayal seperti orang kehilangan arah mimpinya. Tetanggaku memang pernah mengatakan kepadaku supaya aku mencari pengganti sosok Robert. Memang banyak orang yang menyarankan supaya aku segera menikah. Mereka para istri yang senasib denganku sudah menikah. Hanya aku yang menikmati pilihanku yang sedikit gila ini. Aku tak ingin menikah sebelum Robert yang lama ataupun baru merajai hatiku ini. Robert sosok yang sempurna bagiku. Laki-laki lain tidak segagah Robert. Laki-laki lain tidak setampan Robert. Mungkin saja ada tetapi Robertlah yang jadi sosok sempurna bagiku. Hanya ingin sendiri dan sendiri sebelum bulan melemparkan Robert kembali entah bagimana caranya.
              Ah, hidup normal. Bersuami dan anggota keluarga selalu lengkap. Aku bukan tak peduli akan kelengkapan anggota keluarga. Aku hanya belum ingin bersuami sebelum Robert datang dan memlukku lagi. Robert Guarnere, atau Robert bla..bla…bla. Pokoknya harus sama sosoknya seperti Robert.
               “Ibu, ceritakan padaku tentang bulan Juni!” Lune seperti ingin didongengkan sebelum ia menuju alam mimpi indahnya sebagai anak kecil.
                 Air mataku menetes. Sesegera mungkin aku menghapus air mata itu dan Lune begitu penasaran.
                “Mengapa Ibu menangis? Ayolah bu, ceritakan padaku!”, Lune kian memaksaku. Aku tak ingin bayang-bayang Robert selalu ada di pikiranku.
                 “Nak, kalau bulan Juni, ibu selalu teringat bayang-bayang wajah ayahmu! Ibu tidak sanggup cerita dengan bayang-bayang wajah ayahmu!”
                 “Kalau Ibu tak mau cerita, Lune lebih baik main ke rumah Acxel, ayahnya Acxel begitu baik dan aku ingin punya ayah! Ayahnya acxel sering membelikan es krim untukku. Ceritakan padaku tentang bulan Juni, katanya ayah bakal datang bulan Juni, Ibu yang pernah janji sama Lune.”
                   “Baiklah, ibu akan cerita. Duduklah di pangkuan ibu.”
                    Kupegang tangannya dan ku elus-elus rambutnya yang flaxen itu. Aku pun cerita tentang bulan Juni.
                                                                                                      ***
                    Aku cerita tentang kisah cintaku bersama Robert. Lune anak kecil yang akan mendengarkannya. Aku tak peduli. Begitu memori ini kuluapkan kepada orang, ringanlah beban pikiranku di Bulan Juni.
                     Aku kenal Robert sejak bangku Sekolah Tinggi. Dia begitu manis. Badannya kekar dan dia atlit gulat SMA. Dibalik kekekaran dan kasarnya Jenggot milik Robert, tersimpan senyum manis dan menawan hati.
                      Aku dan dia lulus bersamaan. Aku melanjutkan ke Universitas California, aku ambil jurusan literacy. Pemerintah Amerika Serikat mewajibkan laki-laki seusia dia harus ke akademi Militer. Keluarga Robert menyetujui dan Robert masuk ke jurusan Asia. Ya, dulu Sekutu harus menyerang dua sisi dunia. Lewat Eropa dan lewat Pasifik. Robert mengambil divisi tentara marinir yang akan menyerang lewat Pasifik.
                       Empat tahun aku dan Robert masih bersama-sama. Di setiap weekend Robert selalu mengajakku ke danau dekat Wisconsin. Bahkan bulan Juni, danau itu tampak indah dengan pantulan sinar bulan di riak-riak airnya. Aku mencintai Robert. Robert selalu menceritakan sebuah kisah akan Asia yang indah dan dia berjanji akan mengajakku kesana.
                        “Kalau aku berjaya, aku ingin bersamamu ke Asia. Ada banyak tempat indah disana! Aku bisa mengajakmu ke Filipina, Thailand, atau Indocina. Disana banyak tebing tinggi yang akan membawa kita melihat dunia. Burung Camar selalu mencericit. Pohon Kelapa melambaikan jari-jari daunnya. Kita bisa menikmati hari dengan pemandangan indah di depan mata. Asia itu indah!”
                          Aku begitu terlarut ketika mendengar ajakan itu. Betapa pengetahuan Robert akan tempat indah di Asia membuatku terus mengaguminya. Aku memang belum pernah ke Asia. Hanya karena ucapan Robert, aku begitu yakin kalau Asia memang Indah. Robert memang sesosok yang all out dan tak pernah meminta kepadaku akan sebuah tanda kasih. Hanya memberi tanpa harap sesuatu dariku. Ya, yang dapat kuberikan hanyalah diriku ini, jiwa raga ini.
                                                                                                              ***

                           Juni 1943. Ia masih dilatih divisi itu. Setiap weekend adalah waktu luang untuk calon serdadu. Ia selalu mengajakku ke danau. Bahkan tak hanya ke danau, ia pernah mengajakku menyaksikan teater di panggung California. Setiap weekend selalu berkesan bagiku akan sebuah makna cintaku bersamanya. Jemari kekarnya selalu menggenggam erat jemariku yang kecil ini.
                             Ia mengajakku ke taman kota. Taman kota nampak sepi. Ia mengatakan hal yang begitu menggembirakan bagiku. “Brenda, maukah kau menikah denganku? Tetapi kau harus sabar menungguku. Setahun atau bahkan kurang dari setahun lagi aku akan pergi berperang. Aku yakin, tentara Jepang banyak yang mati di tanganku, dan aku akan pulang membawa kejayaan dan kebahagian. Aku janji. Kita bisa pergi ke Asia berdua.”
                                “Aku mau menikah denganmu. Aku akan setia menunggumu.”
Aku begitu gembira dengan ajakan Robert. Aku serasa melayang dan Taman Kota seperti tempat yang terindah di dunia. Robert menggandeng tanganku. Ia mengajakku ke sebuah losmen. Aku menikmati malam bersamanya. Aku bersenggama dengannya. Tak peduli akan keadaan perang yang akan diarungi Robert. Aku begitu menikmati sesuatu yang disebut anugerah itu. Ya, inilah surga. Surga itu adalah masuknya keindahan yang dimiliki Robert kedalam tubuhku yang tak melawan ini. Terbuang jauh pikiran kalau setahun lagi ia akan pergi. Aku masih berpikir masih ada setahun. Juni, begitu indah bersamanya. Juni, Bulan bak tempat tidur. Hanya ada Robert dan aku di tempat tidur itu.
                                   Esok harinya aku dan keluargaku beserta keluarga Robert menyepakati pernikahanku dengannya. Hari minggu, tepatnya tiga hari setelah kesepakatan itu, aku menikah dengan Robert. Gereja nampak begitu semarak dengan bunga-bunga. Lonceng-lonceng begitu semangat berbunyi seakan memberi ucapan selamat kepadaku. Aku bahagia. Aku melayang. Aku bersuami. Robert Guarnere.
                                    Februari 1944. Tak kusangka ia akan pergi. Aku positif hamil. Aku menangis. Aku bahagia. Air mataku terasa tawar tidak lagi asin. Ya, itulah air mata bahagia. Sekejap kebahagiaan itu akan bercampur dengan kesedihan. Robert akan pergi sebentar lagi. “Hah? Aku akan menjadi ayah! Aku akan menjadi ayah! Brenda, aku pasti kembali untuk melihat anak kita!”
                                   “Robert, akupun bahagia, tetapi aku berat sekali untuk melepasmu di medan yang sarat akan teriakan dan dentuman peluru-peluru.”, aku baru terpikir akan situasi menyeramkan tentang peperangan. Perang, disanalah setan-setan beradu. Peluru, misil, dan bom hanya akan menghasilkan teriakan, luka, kematian, dan tangis. Begitu seramnya medan itu. Aku takut kehilangannya.
“Ini tugas negara, aku mencintaimu Brenda, aku berjanji aku akan jaga keselamatanku. Aku akan kembali, kelak ketika anak kita lahir berilah nama Lune kalau ia seorang perempuan dan Jupiter kalau ia seorang laki-laki! Lune berarti Bulan dan Jupiter berarti perkasa.”

                                                                                                            ***

                                      Kuantarkan Robert ke barak. Sebelum berpisah kami berpelukan. Sapuan bibir dan hangatnya pelukan menjadi sebuah bakaran semangat untuknya, aku yakini itu.
                                      Esoknya, Robert pergi meninggalkan Amerika. Kulihat kapal perang yang membawa Robert. Kapal itu wajahnya garang seakan-akan galak kepadaku. Kapal itu seakan melarangku untuk melambaikan tangan sebagai salam perpisahan.
                                      Aku takut. Aku merasa sendiri. Aku tak tahu apakah sendiri sampai akhir hayat atau Robert akan kembali? Ah, aku yakin Robert pasti kembali. Tetapi kandungan ini butuh wajah Ayahnya. Ya, aku akan melahirkan anakku tanpa seorang Robert disisiku. Divisi tentaranya begitu disiplin sehingga tidak memungkinkan berkirim surat dengan Robert. Surat hanya dapat dikirim kalau divisinya memasuki Pulau Saipan karena pulau itulah yang memungkinkan akses kurir pos menemui divisi marinir.
                                     November 1944. Saatnya bagiku untuk melahirkan. Hari ini 12 November 1944. Anakku perempuan. Lune Guarnere. Itulah namanya. Aku bahagia tetapi aku tidak bisa memberikan kabar untuk Robert. Divisi tentara itu menutup diri untuk menerima surat kabar dariku walaupun aku telah menulisnya. “Selamat sayang! Anakmu perempuan!”. Surat itu hanya tertahan dalam tumpukkan kertas yang ada di rumah.
                                        Juni 1945. Gerai-gerai kemenangan telah terdengar di telinga warga Amerika. Bulan kembali bersinar seperti biasanya. Kupandagi taman kota sambil kugendong Lune yang berusia tujuh bulan. Bulan itu seperti wajah Robert yang tersenyum padaku.
                                                                                                                        ***
                                         Agustus 1945. Pihak sentral menerima kekalahannya yang ditandai dengan kalahnya Jepang di tangan Sekutu. Robert bertugas di Filipina. Seminggu setelah kabar itu pemerintah menjanjikan akan kabar-kabar serdadu untuk keluarganya. Setelah seminggu itu berjalan, banyak istri yang bertemu dengan suaminya para marinir. Tetapi aku tak menemukannya. Banyak orang tua bertemu dengan anaknya. Tetapi orangtua Robert yang saat ini bersamaku pun tidak menemukan Robert. Badan kekarnya tidak nampak, yang ada hanya badan kekar serdadu lainnya yang tidak sekekar Robert. Tiba-tiba saja seorang kurir pos mengantarkan surat berlabel kenegaraan.
                                           “Maaf karena telah memberikan kabar yang kurang berkenan. Saudara Robert Guarnere telah menunaikan tugas dan gugur sebagai pembela Amerika.”
                                               Memang singkat surat itu. Aku kaget dan hanpir pingsan. Bertahun-tahun aku selalu berlarut dalam tangis. Aku bahkan tak setabah orang tua Robert.  Aku hanya bisa membesarkan Lune seorang diri. Aku hanya akan bersabar hingga Lune menemukan sosok ayah yang lain, tetapi aku begitu mencintai Robert. Aku menangis. Tangisku mungkin akan menjadi sungai yang mengalir ke Asia. Air mataku pahit, tanda kehilangan yang besar.
                                                                                                            ***
                                                Ah, aku gamblang sekali menceritakan hal ini kepada seorang anak kecil. Tetapi Lune tertidur pulas. Aku gendong Lune dan kubawa ke kamar dan kubaringkan. Aku kecup keningnya yang masih halus sambil kubisikkan, “Semoga Bulan Junimu menyenangkan.”. Aku berbaring disampingnya dan melihat pancaran sinar bulan masuk melalui jendela. Aku pandangi salib. Sejenak aku berdoa, semoga sesosok Robert yang sama persis, hadir kembali di dalam hidupku. Lune harus memiliki ayah yang sama persis seperti Robert.



Cilandak, 19 Oktober 2010
Agustinus Norman Mahardhika
Mencoba menulis kisah cinta yang terjadi pada masa perang dunia kedua.
Semoga anda menikmati cerita ini.