Lune. Gadis kecil berusia enam tahun. Dia adalah anak tunggalku. Wajahnya adalah cerminan dari wajahku, ibunya. Rambutnya yang flaxen dan pirang. Hidungnya seperti hidung ayahnya. Ah, ayahnya, seseorang yang menjadi pujaan hatiku sepanjang masa. Kini, suamiku, Robert berada di alam yang berbeda denganku. Lune, gadis kecil yang selalu bertanya tentang bulan indah ini; Bulan Juni. Ya, dia selalu penasaran dengan bulan Juni. Aku selalu melamun ketika bulan Juni. Air mataku selalu berlinang di bulan Juni. Aku selalu teringat akan sesosok Robert. Robert Guarnere, dia keturunan Prancis.
Aku dan Lune bak burung kondor yang hanya hidup dengan anaknya tanpa kehadiran sesosok pemimpin dalam keluarga. Ah, Juni. Terkadang aku begitu merindukan bulan Juni. Ketika bulan Juni datang, aku justru ingin keluar dari waktu-waktu di Bulan Juni. Tiga Juni. Hari itu hari Senin.
Lune selalu bertanya di setiap malam sebelum ia pergi tidur. Lune selalu menanyakan siapakah ayahnya. Lune selalu merasa tidak lazim karena teman-teman sebayanya di sekolah memiliki ayah, sedangkan Lune tidak. Lune memang pernah memiliki ayah. Lune belum pernah melihat ayahnya. Robert pun belum pernah melihat Lune, anaknya yang tunggal itu.
Setiap malam bulan Juni adalah malam indah karena sinar bulan selalu tersenyum di atas rumah ini. Kuajak Lune melihat sinar bulan di teras rumah. Lune hanya lugu mendengarkan ceracauku, khayalanku untuk bisa meraih bulan itu karena bulan itu selalu mengingatkan Robert, suamiku yang pergi entah kemana.
“Lihatlah, anakku, bulan itu penuh dan begitu terang, aku jadi teringat akan Robert, ialah ayahmu nak.”
“Kenapa ibu tidak pernah menceritakan cerita tentang ayah? Lune punya ayah kan? Teman-teman Lune di sekolah punya ayah. Lune ingin melhat ayah!”
“Nak, kelak ketika kamu cukup umur, kamu akan mengerti, siapakah ayahmu itu.”
“Ibu, Lune ingin bertemu ayah, pasti ia mengendarai mobil, pasti ia memiliki jenggot, pasti ia selalu menggandeng tanganku kalau ia mengantarku ke sekolah. Ibu, Lune ingin melihat ayah!”
Setiap hari bulan selalu menampakkan wajahnya di bulan Juni. Juni, ialah bulan yang menyiksaku karena membuatku terkungkung dalam memori indah bersama Robert. Juni, bulan yang membuatku gila. Aku meracau, mengkhayal, berteriak-teriak, dan aku membayangkan Robert memelukku, membagi sapuan bibirnya untukku, dan perlahan membopongku ke kamar untuk menikmati hal yang manusiawi. Aku gila!
Aku gila! Ya aku selalu mengkhayal seperti orang kehilangan arah mimpinya. Tetanggaku memang pernah mengatakan kepadaku supaya aku mencari pengganti sosok Robert. Memang banyak orang yang menyarankan supaya aku segera menikah. Mereka para istri yang senasib denganku sudah menikah. Hanya aku yang menikmati pilihanku yang sedikit gila ini. Aku tak ingin menikah sebelum Robert yang lama ataupun baru merajai hatiku ini. Robert sosok yang sempurna bagiku. Laki-laki lain tidak segagah Robert. Laki-laki lain tidak setampan Robert. Mungkin saja ada tetapi Robertlah yang jadi sosok sempurna bagiku. Hanya ingin sendiri dan sendiri sebelum bulan melemparkan Robert kembali entah bagimana caranya.
Ah, hidup normal. Bersuami dan anggota keluarga selalu lengkap. Aku bukan tak peduli akan kelengkapan anggota keluarga. Aku hanya belum ingin bersuami sebelum Robert datang dan memlukku lagi. Robert Guarnere, atau Robert bla..bla…bla. Pokoknya harus sama sosoknya seperti Robert.
“Ibu, ceritakan padaku tentang bulan Juni!” Lune seperti ingin didongengkan sebelum ia menuju alam mimpi indahnya sebagai anak kecil.
Air mataku menetes. Sesegera mungkin aku menghapus air mata itu dan Lune begitu penasaran.
“Mengapa Ibu menangis? Ayolah bu, ceritakan padaku!”, Lune kian memaksaku. Aku tak ingin bayang-bayang Robert selalu ada di pikiranku.
“Nak, kalau bulan Juni, ibu selalu teringat bayang-bayang wajah ayahmu! Ibu tidak sanggup cerita dengan bayang-bayang wajah ayahmu!”
“Kalau Ibu tak mau cerita, Lune lebih baik main ke rumah Acxel, ayahnya Acxel begitu baik dan aku ingin punya ayah! Ayahnya acxel sering membelikan es krim untukku. Ceritakan padaku tentang bulan Juni, katanya ayah bakal datang bulan Juni, Ibu yang pernah janji sama Lune.”
“Baiklah, ibu akan cerita. Duduklah di pangkuan ibu.”
Kupegang tangannya dan ku elus-elus rambutnya yang flaxen itu. Aku pun cerita tentang bulan Juni.
***
Aku cerita tentang kisah cintaku bersama Robert. Lune anak kecil yang akan mendengarkannya. Aku tak peduli. Begitu memori ini kuluapkan kepada orang, ringanlah beban pikiranku di Bulan Juni.
Aku kenal Robert sejak bangku Sekolah Tinggi. Dia begitu manis. Badannya kekar dan dia atlit gulat SMA. Dibalik kekekaran dan kasarnya Jenggot milik Robert, tersimpan senyum manis dan menawan hati.
Aku dan dia lulus bersamaan. Aku melanjutkan ke Universitas California, aku ambil jurusan literacy. Pemerintah Amerika Serikat mewajibkan laki-laki seusia dia harus ke akademi Militer. Keluarga Robert menyetujui dan Robert masuk ke jurusan Asia. Ya, dulu Sekutu harus menyerang dua sisi dunia. Lewat Eropa dan lewat Pasifik. Robert mengambil divisi tentara marinir yang akan menyerang lewat Pasifik.
Empat tahun aku dan Robert masih bersama-sama. Di setiap weekend Robert selalu mengajakku ke danau dekat Wisconsin. Bahkan bulan Juni, danau itu tampak indah dengan pantulan sinar bulan di riak-riak airnya. Aku mencintai Robert. Robert selalu menceritakan sebuah kisah akan Asia yang indah dan dia berjanji akan mengajakku kesana.
“Kalau aku berjaya, aku ingin bersamamu ke Asia. Ada banyak tempat indah disana! Aku bisa mengajakmu ke Filipina, Thailand, atau Indocina. Disana banyak tebing tinggi yang akan membawa kita melihat dunia. Burung Camar selalu mencericit. Pohon Kelapa melambaikan jari-jari daunnya. Kita bisa menikmati hari dengan pemandangan indah di depan mata. Asia itu indah!”
Aku begitu terlarut ketika mendengar ajakan itu. Betapa pengetahuan Robert akan tempat indah di Asia membuatku terus mengaguminya. Aku memang belum pernah ke Asia. Hanya karena ucapan Robert, aku begitu yakin kalau Asia memang Indah. Robert memang sesosok yang all out dan tak pernah meminta kepadaku akan sebuah tanda kasih. Hanya memberi tanpa harap sesuatu dariku. Ya, yang dapat kuberikan hanyalah diriku ini, jiwa raga ini.
***
Juni 1943. Ia masih dilatih divisi itu. Setiap weekend adalah waktu luang untuk calon serdadu. Ia selalu mengajakku ke danau. Bahkan tak hanya ke danau, ia pernah mengajakku menyaksikan teater di panggung California. Setiap weekend selalu berkesan bagiku akan sebuah makna cintaku bersamanya. Jemari kekarnya selalu menggenggam erat jemariku yang kecil ini.
Ia mengajakku ke taman kota. Taman kota nampak sepi. Ia mengatakan hal yang begitu menggembirakan bagiku. “Brenda, maukah kau menikah denganku? Tetapi kau harus sabar menungguku. Setahun atau bahkan kurang dari setahun lagi aku akan pergi berperang. Aku yakin, tentara Jepang banyak yang mati di tanganku, dan aku akan pulang membawa kejayaan dan kebahagian. Aku janji. Kita bisa pergi ke Asia berdua.”
“Aku mau menikah denganmu. Aku akan setia menunggumu.”
Aku begitu gembira dengan ajakan Robert. Aku serasa melayang dan Taman Kota seperti tempat yang terindah di dunia. Robert menggandeng tanganku. Ia mengajakku ke sebuah losmen. Aku menikmati malam bersamanya. Aku bersenggama dengannya. Tak peduli akan keadaan perang yang akan diarungi Robert. Aku begitu menikmati sesuatu yang disebut anugerah itu. Ya, inilah surga. Surga itu adalah masuknya keindahan yang dimiliki Robert kedalam tubuhku yang tak melawan ini. Terbuang jauh pikiran kalau setahun lagi ia akan pergi. Aku masih berpikir masih ada setahun. Juni, begitu indah bersamanya. Juni, Bulan bak tempat tidur. Hanya ada Robert dan aku di tempat tidur itu.
Esok harinya aku dan keluargaku beserta keluarga Robert menyepakati pernikahanku dengannya. Hari minggu, tepatnya tiga hari setelah kesepakatan itu, aku menikah dengan Robert. Gereja nampak begitu semarak dengan bunga-bunga. Lonceng-lonceng begitu semangat berbunyi seakan memberi ucapan selamat kepadaku. Aku bahagia. Aku melayang. Aku bersuami. Robert Guarnere.
Februari 1944. Tak kusangka ia akan pergi. Aku positif hamil. Aku menangis. Aku bahagia. Air mataku terasa tawar tidak lagi asin. Ya, itulah air mata bahagia. Sekejap kebahagiaan itu akan bercampur dengan kesedihan. Robert akan pergi sebentar lagi. “Hah? Aku akan menjadi ayah! Aku akan menjadi ayah! Brenda, aku pasti kembali untuk melihat anak kita!”
“Robert, akupun bahagia, tetapi aku berat sekali untuk melepasmu di medan yang sarat akan teriakan dan dentuman peluru-peluru.”, aku baru terpikir akan situasi menyeramkan tentang peperangan. Perang, disanalah setan-setan beradu. Peluru, misil, dan bom hanya akan menghasilkan teriakan, luka, kematian, dan tangis. Begitu seramnya medan itu. Aku takut kehilangannya.
“Ini tugas negara, aku mencintaimu Brenda, aku berjanji aku akan jaga keselamatanku. Aku akan kembali, kelak ketika anak kita lahir berilah nama Lune kalau ia seorang perempuan dan Jupiter kalau ia seorang laki-laki! Lune berarti Bulan dan Jupiter berarti perkasa.”
***
Kuantarkan Robert ke barak. Sebelum berpisah kami berpelukan. Sapuan bibir dan hangatnya pelukan menjadi sebuah bakaran semangat untuknya, aku yakini itu.
Esoknya, Robert pergi meninggalkan Amerika. Kulihat kapal perang yang membawa Robert. Kapal itu wajahnya garang seakan-akan galak kepadaku. Kapal itu seakan melarangku untuk melambaikan tangan sebagai salam perpisahan.
Aku takut. Aku merasa sendiri. Aku tak tahu apakah sendiri sampai akhir hayat atau Robert akan kembali? Ah, aku yakin Robert pasti kembali. Tetapi kandungan ini butuh wajah Ayahnya. Ya, aku akan melahirkan anakku tanpa seorang Robert disisiku. Divisi tentaranya begitu disiplin sehingga tidak memungkinkan berkirim surat dengan Robert. Surat hanya dapat dikirim kalau divisinya memasuki Pulau Saipan karena pulau itulah yang memungkinkan akses kurir pos menemui divisi marinir.
November 1944. Saatnya bagiku untuk melahirkan. Hari ini 12 November 1944. Anakku perempuan. Lune Guarnere. Itulah namanya. Aku bahagia tetapi aku tidak bisa memberikan kabar untuk Robert. Divisi tentara itu menutup diri untuk menerima surat kabar dariku walaupun aku telah menulisnya. “Selamat sayang! Anakmu perempuan!”. Surat itu hanya tertahan dalam tumpukkan kertas yang ada di rumah.
Juni 1945. Gerai-gerai kemenangan telah terdengar di telinga warga Amerika. Bulan kembali bersinar seperti biasanya. Kupandagi taman kota sambil kugendong Lune yang berusia tujuh bulan. Bulan itu seperti wajah Robert yang tersenyum padaku.
***
Agustus 1945. Pihak sentral menerima kekalahannya yang ditandai dengan kalahnya Jepang di tangan Sekutu. Robert bertugas di Filipina. Seminggu setelah kabar itu pemerintah menjanjikan akan kabar-kabar serdadu untuk keluarganya. Setelah seminggu itu berjalan, banyak istri yang bertemu dengan suaminya para marinir. Tetapi aku tak menemukannya. Banyak orang tua bertemu dengan anaknya. Tetapi orangtua Robert yang saat ini bersamaku pun tidak menemukan Robert. Badan kekarnya tidak nampak, yang ada hanya badan kekar serdadu lainnya yang tidak sekekar Robert. Tiba-tiba saja seorang kurir pos mengantarkan surat berlabel kenegaraan.
“Maaf karena telah memberikan kabar yang kurang berkenan. Saudara Robert Guarnere telah menunaikan tugas dan gugur sebagai pembela Amerika.”
Memang singkat surat itu. Aku kaget dan hanpir pingsan. Bertahun-tahun aku selalu berlarut dalam tangis. Aku bahkan tak setabah orang tua Robert. Aku hanya bisa membesarkan Lune seorang diri. Aku hanya akan bersabar hingga Lune menemukan sosok ayah yang lain, tetapi aku begitu mencintai Robert. Aku menangis. Tangisku mungkin akan menjadi sungai yang mengalir ke Asia. Air mataku pahit, tanda kehilangan yang besar.
***
Ah, aku gamblang sekali menceritakan hal ini kepada seorang anak kecil. Tetapi Lune tertidur pulas. Aku gendong Lune dan kubawa ke kamar dan kubaringkan. Aku kecup keningnya yang masih halus sambil kubisikkan, “Semoga Bulan Junimu menyenangkan.”. Aku berbaring disampingnya dan melihat pancaran sinar bulan masuk melalui jendela. Aku pandangi salib. Sejenak aku berdoa, semoga sesosok Robert yang sama persis, hadir kembali di dalam hidupku. Lune harus memiliki ayah yang sama persis seperti Robert.
Cilandak, 19 Oktober 2010
Agustinus Norman Mahardhika
Mencoba menulis kisah cinta yang terjadi pada masa perang dunia kedua.
Semoga anda menikmati cerita ini.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan beri komentar