Total Tayangan Halaman

Minggu, 25 Desember 2011

Katarina

Bendera putih berkibar lemah di papan nama gang Semeru. Aku merasakan irama doa yang khusyuk mendoakan kematian seorang wanita muda berusia 23 tahun. Aku merasakan betapa dalamnya duka keluarga wanita muda itu. Nama wanita itu Katarina Supini. Dia adalah wanita yang kukenal sangat baik perangainya juga supel orangnya.

           Aku masuk ke dalam gang Semeru dan langsung menuju rumah tempat jenazah Katarina disemayamkan.  Kemudian aku merasakan irama doa requiem yang menusuk-nusuk hati. Doa itu terngiang di telingaku dan menjadikan hatiku tersayat. Aku memang mengenal baik Katarina. Dia sahabatku ketika mengikuti paduan suara gereja bersama.

           Aku melepaskan sepatuku di luar rumah duka dan berbaris menuju ke dalam ruang tamu. Disitulah peti jenazah diletakkan. Di depan peti terpampang salib, lilin, dan foto Katarina yang memiliki paras yang manis.

            Jantungku berdegup dengan kencang ketika hendak melihat jenazah Katarina. Aku merinding. Mendadak aku terdiam menganga hingga air mataku jatuh ke dalam peti. Aku melihatnya dengan perasaan sakit yang awet hinggap di hatiku. Kedukaanku begitu mendalam. Dengan spontan aku menyingsingkan lengan baju hitamku dan mulai membelai rambut jenazah Katarina. Aku menangis di atas jenazah. Seketika itu juga ingatanku melayang.

             Aku teringat akan beberapa jam yang lalu. Aku dan Katarina adalah dua sahabat yang sering meluangkan waktu untuk curhat, cerita-cerita ngalor ngidul. Kami bisa akrab karena kami bersama-sama mengikuti paduan suara gereja Cantus Gloria.

              Aku teringat akan jam-jam ketika Katarina masih bernafas. Urutan kejadian ini masuk ke dalam memoriku. Ketika itu kami berlatih paduan suara di gedung aula Pastoran. Ketika itu hari Jumat siang. Hari Jumat yang menyejukkan hatiku karena suara Katarina melengking indah. Dia mungkin bisa menguasai tujuh oktaf tingkat nada. Hari mulai sore dan kami sejenak beristirahat.
“Ton, kamu masih ngajar di PL? aku kangen loh sama anak-anak disana.” Katarina mengajakku mengobrol santai sambil mengisi waktu.
“Iya, aku masih ngajar disana tiap hari Sabtu. Emang suasananya asik yah.”
“Iya ton, anak-anaknya nggemesin deh. Mereka dilatih suaranya dan itu masih ranum banget. Itu yang bikin aku semangat ngajar disana!’
Lha, emang kenapa kamu gak pernah muncul lagi rin?”
Anu…, aku nggak muncul lagi soalnya aku udah dipecat sama kepala sekolah disana. Aku dipecat soalnya aku dianggap meresahkan anak-anak sekolah. Yah, kamu tau kan Ton? Aku ini pengidap.”
“Ihh… pengidap apaan? Kamu gak pernah cerita lho!”
“Ya ampun! Bukannya aku pernah cerita? Kamu tahu kan aku punya penyakit?”
“Penyakit apa? Kamu gak pernah bilang.”
“Jangan berlagak gak ngerti deh, aku pernah ngomong pas kita lagi makan bakso bareng.”
“Apa itu?”
Guuussstiiiii, jadi orang kok lalen to kowe ki?”
opo toh?
            Katarina langsung menepuk perutku yang membal itu sambil membisikkan lirih apa maksud dia. “Iyooo, aku ki nduwe penyakit AIDS!”
“Gusti! Jadi itu beneran? Tak kira kamu tuh bercanda!” Aku menimpalinya dengan berlagak untuk mengalihkan pikiranku yang sebenarnya tahu banyak hal tentang dia.
Iyoo, gustiiii…. Nasibku kok koyo ngene. Setiap minggu harus vaksin salvarzan untuk imunitasku. Kalau enggak aku terancam mati. Padahal harga vaksin itu sekalinya 1 juta setengah!”
“Lha? Kalo itu sih Rin… aku bisa bantu. Tapi yang bikin aku heran itu kok bisa-bisanya kamu dipecat?”
“Ya, tahu sendirilah! AIDS itu nular Ton. Aku dipecat karena aku dianggap sebagai manusia berbahaya, yang mengancam kesehatan semuanya. Aku disuruh masuk panti rehab. Tapi aku gak mau! Sekalinya aku hidup, aku gak mau ke panti rehab!”

                Begitulah Katarina menceritakan kisah sedihnya karena dia terkena penyakit aneh itu. Katarina begitu semangat untuk hidup sampai-sampai dia tidak mau dibawa ke panti rehab. Aku salut sama dia. Dia wanita tegar. Dasar pengen tahu, aku mau ngulik kenapa dia bisa kena AIDS.
Tanpa ragu-ragu dan berlagak sok jadi kakak, aku bertanya demikian, “yang bikin kamu AIDS itu siapa toh?”
Katarina tampak malas menjawab.
Aku langsung saja nyecer dia, “kamu cerita aja deh! Gak mungkin aku sebarin ke temen-temen. Lagian yang tahu kamu kena penyakit itu bukannya cuma aku?”
“Ton, kalau aku kasih tahu kamu, janji gak akan bilang siapa-siapa ya?”
“Siiippp, santai aja lah mbakyu!”
“Ton, aku ini manusia dengan dua muka. Aku ini kena penyakit ini karena aku ngeple. Aku ngeple karena aku harus lanjut kuliah. Kenapa aku ngeple? Ya karena badanku yang semok ini. Laki-laki buncit banyak yang langganan sama aku. Sampai pas itu gak sadar, aku ikut-ikutan nyuntik Feromine biar rasanya ngefly. Tapi ya gitu, ujung-ujungnya aku batuk darah dan dokter bilang aku positif AIDS.”
Lha kenapa toh sama orang tua kamu? Kamu gak ambil beasiswa?”
“Ya, orang tua gak ada penghasilan tetap. Beasiswa kan harus ada persyaratan lengkap. Kami bukan warga negara yang baik. Semua data kependudukan itu udah lama dan masa berlakunya habis. Kalo mau bikin lagi ya bakal duitnya banyak. Aku juga kesel sama orang tuaku sendiri. Mereka kayak gak mau ngelawan tantangan hidup. Aku dianggap bajingan karena perilakuku! Orang tuaku udah buta, gak mau kenal lagi!”

             Aku akhirnya tahu bagaimana kisah dia hidup dengan bebannya. Aku tahu bagaimana dia berjuang demi uang kuliahnya. Menjadi jalang demi uang kuliah mungkin juga dilakukan oleh segelintir orang yang biasa disebut dengan ayam kampus. Tapi, aku salut karena dia masih ingat Tuhan. Dia masih nyanyi di gereja bareng paduan suara.

             Istirahat paduan suara pun berakhir. Kami masuk kembali ke dalam aula pastoran. Romo pembimbing pun mem-briefing kami untuk koor. Setelah briefing selesai, kami langsung pulang. Sebelum aku menunggangi motorku, Katarina memanggilku.
“Ton, aku mau ngasih ini buat kamu!” dia kemudian menyodorkan boneka sulaman buatan sendiri. “Jangan sampe ilang ya, jiwaku ada di boneka itu. Kalo aku mati, aku bisa hadir si boneka itu!”
Hussss…. Kowe ki nek ngomong mbok ngiro-ngiro. Jangan bilang gitu!”
“Hehehe, tapi diterima aja yaa, aku buat itu emang untuk sahabatku yang paling ngerti aku.”
Tak bawa nih?”
“Iyaaaa, bawa aja! Uhuuuk….uhuuuuk…..uggghhh!”
“ Lho, kamu batuk darah lagi! Ayo pulang aja sama aku. Tak ajak makan dulu!”
“Nggak usah ton, aku bawa motor kok!”
“Kalo makan bareng aja gimana? Ayo tak traktir di warung Babah Liem. Makan yang anget-anget.”
“Oke deh, aku tapi ngintil kamu ya!”

               Kami makan di tempat itu. Suasana begitu hangat saat dia menatap mataku. Dia mengatakan bahwa tak ada sahabat yang lebih baik daripada aku, Antonius Wiryawan Sarjono. Dia bahkan mengatakan kalau dia cinta aku.
“Ton, aku Cuma punya kamu yang mau ngerti aku. Aku sayaaaang sama kamu!”
“Rin, aku juga sayang sama kamu. Tapi tahu toh? Aku punya Randini. Aku Cuma sekadar jadi temen ngobrol aja.”
“Aku tahu itu. Tapi naluri jalangku mati kalo liat kamu! Semua laki-laki yang kulihat biasanya memunculkan naluri jalangku!”
“Iyaaa, aku cuma mau ngerti kamu. Kasihan hidupmu!”
“Ton, jangan bilang Randini, pacarmu itu ya! Uhuuuk…uhuuuuk…hoeeekkk!”

                 Kulihat Katarina muntah darah. Imunitasnya sudah turun. Aku suruh dia buru-buru pulang untuk beristirahat. Aku antarkan dengan cara beriringan naik motor. Kemudian aku pulang. Aku tiba di rumah dan langsung menggeletakan badanku yang lumayan capek ini. Aku membayangkan, betapa sulit hidup si Katarina.

                        Randini memang ada di Bali. Setidaknya dia tidak tahu kalau aku memperhatikan Katarina layaknya seorang pacar sendiri. Tak sadar, aku tertidur di sofa hingga esok paginya. Dan keesokan paginya ada sms di HP ku. SMS itu berisi berita kematian Katarina yang diakibatkan kekurangan cairan karena imunitasnya terganggu.
“Mas, jangan kelamaan disini! Petinya sebentar lagi mau diangkat!” begitulah tegur seorang koster gereja yang ditugaskan membawa peti.

                    Aku kemudian mundur ke belakang. Aku melihat orang tua Katarina begitu terpukul. Dia memang anak semata wayang. Aku juga melihat teman-teman Katarina yang sepertinya sesama wanita jalang. Mereka melayat dengan pakaian yang masih bisa dibilang sebagai pakaian semlohay.
Aku memutuskan untuk pulang ke rumah dan tidak ikut upacara pemakaman. Aku pulang dengan bayangan wajah Katarina yang terus-terusan muncul di ingatanku. Sampai di rumah aku melihat adikku sedang asyik main PES. Aku masuk kamar. Aku mengambil boneka pemberian Katarina.
Bertiup angin dari jendela dengan sangat sejuknya. Jendela bergoyang-goyang buka tutup. Aku merinding. Sekali lagi aku merinding. Kemudian tampaklah bayangan Katarina di cermin sambil senyum memandangku.
“Ton, doakan aku ya!”


Depok 22 November 2011
A-N-M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan beri komentar