Total Tayangan Halaman

Minggu, 25 Desember 2011

Janur kuning

Janur Kuning memang merupakan sebuah tanda yang khas dan identik dengan adat pernikahan. Janur Kuning menjadi sebuah tanda budaya yang banyak diketahui maksudnya. Janur Kuning dibuat melendung, artinya sesuai dengan cita-cita pengantin baru supaya cepat menjadi melendung. Kebahagiaan pengantin baru pasti akan lengkap jika telah terjadi sebuah proses menuju ke bentuk yang melendung. Janur Kuning dibuat melendung, supaya pengantin diharapkan bisa melendung.
Janur Kuning, itu yang sudah terpikirkan dalam benak Wendy dan Anggie. Mereka memang mantap meneruskan hubungan mereka hingga membuat Janur Kuning. Mereka berangan-angan supaya segera melendung sebelum melendung itu dilarang karena banyaknya orang yang terlanjur melendung.  Wendy melendungkan Anggie atau Anggie melendungkan Wendy itu urusan nanti, sebab melendung itu banyak sekali bentuk-bentuknya. Yang jelas mereka ingin melendung, entah itu melendung bukan bagian tubuhnya atau bagian tubuhnya yang tengah ataupun bawah. Dalam arti kecil, ada proses yang disebut senggama entah se-nggama, atau dua-nggama, itu terserah mereka.
Wendy lelaki berusia 27 tahun, sebuah usia yang dipenuhi semangat bergelora dalam dunia karirnya. Dia seorang musisi. Anggie wanita berusia 24 tahun, usia matang dan dewasa untuk menjadikan sebuah hubungan cinta hingga mencapai tahap melendung. Wendy yang ingin membuat semua konsep pernikahannya karena dia bisa menanganinya dengan cara yang kreatif dan berbeda dengan konsep pernikahan yang biasa. Istilah lainnya, dia ingin membuat acara pernikahannya lebih melendung dibandingkan dengan konsep acara pernikahan yang lain. Melendung, sebuah kata yang bermakna membulat. Bulat, sebuah bentuk yang tak kan ada habisnya jika dicari simetri putarnya.
Wendy berencana membuat sebuah album foto pra pernikahan yang lebih melendung dibandingkan teman-temannya yang sudah menikah. Wendy ingin mengajak foto bersama Anggie ke sebuah tempat yang bernama Pulau Surga, pulau di jajaran kepulauan di utara Ibukota Negara yang luasnya hanya 8 petak sawah dan ditumbuhi pohon nyiur dan terdapat benteng tua yang memiliki kesan eksotis. Dijamin, konsep foto yang dikerjakan di tempat itu akan menjadi melendung, sama melendungnya dengan cita-cita Wendy dan Anggie.
“Nggie, rencana aku mau ajak kamu foto di pulau Surga, ntar kita foto diurus sendiri aja. Kita bawa tripod sama kamera, itu cukup kok Nggie.”
           “Ah, kamu ini, emang beda dari yang lain. Yang aku kenal kamu ini suka yang aneh-aneh dan suka ngelamun sendiri kalau di rumah tu… pas lamaran aku aja kamu banyak diemnya, tapi kamu yang kayak gitu udah buat aku nyaman dari apa yang kamu kerjain, seenggaknya cowokku ini emang beda. Aku suka konsep kamu yang tadi, Wen.”
”Haha, emang aku gimana? Aneh gitu? Tapi emang aku rasa akan lebih berkesan kalo gitu, Nggie.
                    “Enggak, aku suka kok cara kamu yang beda itu. Terus, kapan kita berangkatnya ke sana buat foto bareng?”
“Besok sabtu aja pas weekend, kan, waktu kita banyak sebenernya, Cuma aku ngerasa aja kalau Sabtu besok itu hari yang paling baik. Kita berangkat naik kereta ke stasiun pelabuhan, ntar kita ganti naik perahu omprengan ke sana. Paling, 50 ribu aja kurang lah Nggie.”
                    “Oke deh, Setuju sama kamu!”
***
Sabtu yang melendung itu telah tiba. Mereka hendak berangkat bersama dari stasiun paling selatan di kawasan kota itu menuju stasiun pelabuhan. Lima puluh enam menit mereka menempuh perjalanan dengan kereta. Nantinya, dilanjutkan dengan naik perahun selama dua jam. Hitung saja normalnya. Dua jam sama dengan seratus dua puluh menit. Ditambah dengan Lima puluh enam menit menjadi seratus tujuh puluh enam menit untuk menuju ke sebuah tempat yang dinamakan pulau surga itu. Wendy memilih cara itu karena Wendy suka menikmati suasana yang demikian karena bahan obrolan menjadi banyak selama perjalanan. Wendy, seorang seniman, muda dan cita-citanya melendung.
“Eh, Wen, emang di pulau itu pemandangannya gimana sih? Kok kayaknya kamu seneng banget pilih tempat itu, kayak jadi semangat, gak kayak biasanya kamu suka ngelamun.”
                    “Iya, kan kita mau foto. Fotonya di tempat yang bagus lagi.”
Yaelah, Cuma foto doang, kamu bisa sesemangat itu?”
                    “ Iya Nggie, soalnya foto yang kita buat nanti gak sembarang foto. Foto itu mungkin bisa jadi blur atau mungkin gak ada gambar kita sama sekali.”
“Maksud kamu?”
                    “Ahh, enggak, kita pasti bisa foto di sana!” Wendy pun menyeloroh. Otaknya melendung-mengempis memikirkan bagaimana nantinya ketika berfoto. Atau dia sedang memikirkan hal-hal yang tidak bisa dipikirkan Anggie. Anggie hanya pasif karena sangat mencintai Wendy, atau istilah lainnya, Anggie sangat melendung perasaannya kepada Wendy. Anggie merasa dia harus berproses untuk bisa jalan pemikiran Wendy yang unik dan memicu untuk dikenal dan dicintai. Layaknya iman dalam keagamaan, jalan pemikiran Wendy merupakan sebuah Paradoks.
Mereka telah berada di dalam kereta menuju stasiun pelabuhan. Saat ini menit ke 40, artinya masih ada 136 menit lagi untuk sampai ke pulau surga dengan kecepatan rata-rata yang normal. Mereka masih berdiskusi tentang konsep acara pernikahannya.
Tiba-tiba, kereta berhenti di stasiun kota tengah. Stasiun yang cukup padat dan ramai oleh orang yang beraktivitas. Waktu berhentinya cukup lama karena cukup ada gangguan atau pun masalah dalam persinyalan kereta api. Tetapi buat Wendy dan Anggie, mereka tetap tak acuh dengan situasi dan kondisi tersebut. Yang mereka pikirkan, hanyalah foto-foto yang akan mereka hasilkan pasti melendung. Mereka tetap mendiskusikan bagaimana hasil fotonya nanti ketika mereka telah melihat lansekap pulau Surga yang mungkin melendung.
Tetapi, seiring dengan lama berhenti kereta, Wendy kunjung bosan dengan lama berhentinya kereta tersebut. Artinya Wendy yang selama ini dikenal kalem dan cool menjadi gelisah dan mencak-mencak karena lamanya kereta itu berhenti. Kereta berhenti hampir 40 menit, estimasi waktu yang diperkirakan 176 menit menjadi berubah drastis. Dalam kondisi yang mulai membosankan ini, Wendy mulai berani mengumpat dengan keras.
“Aaaaaahhhh, Anjiiiiiinnggg, nih kreta lama banget sih?”
***
Setelah mengumpat, kereta itu kembali berjalan pelan-pelan. Anggie mendengarkan umpatan Wendy dan menjadi gemetar keheranan karena sikapnya yang mulai berubah. Anggie pun hanya membuang muka ke samping, tak mau melihat gelagat Wendy saat itu. Kereta kembali berjalan dan membuat mereka sedikit bernafas lega karena pengapnya udara gerbong mulai terasa ada angin melintasi mereka. Wendy hanya merengut, melihat kaca jendela kereta yang disuguhkan pemandangan pemukiman kumuh yang melendung.
“Wen, kenapa kamu tadi marah-marah sendiri? Kamu gak kalem lagi yah?” Anggie menyeloroh Wendy dengan nada yang sedikit meningkat menantang karena keheranannya.
                    “Ah, kamu gak tahu, apa yang bakal jadi peristiwa nantinya. Aku Kesal!”
“Ya udah, gak usah sampe marah-marah gitu kenapa? Orang-orang liat jadi gak enak, kan?”
Anggie menjelaskan situasi tadi yang sebenarnya cukup memalukan di depan banyak penumpang lain.
Setelah pembicaraan mereka berdua usai, kereta mulai meningkat kecepatannya.
***
Orang-orang berkerumun di pinggir rel sambil melihat menyeruak heran. Bangkai kereta empat gerbong terguling di dekat bantaran muara sungai yang penuh sampah. Nampaknya kereta telah terguling anjlok dari rel dan badan kereta menimpa rumah-rumah penduduk sekitar. Persambungan kereta nampak ada yang melendung ke atas dan menghimpit beberapa penumpang yang telah menjadi korban jiwa. Para korban jiwa pun di kumpulkan dan diperiksa identitasnya.
Tampaklah dua pasang orang tua yang terkesan sangat kaya datang memeriksa identitas korban. Mereka datang karena mereka pernah mendapat ijin dari anak-anaknya dengan menaiki kereta. Nyata, dua korban jiwa dengan wajah yang remuk, tak terlihat melendung lagi, namun kartu identitasnya menunjukkana nama yang melendungkan jantung mereka.
“KTP atas nama Wendy Suryo, usia 27 Tahun, asal Jakarta. Silahkan bagi yang mencari  nama korban tersebut mengurus di bagian forensik. Yang kedua, Anggita Cahyani, asal Jakarta, Usia 24 Tahun…. “
Suara kepala bidang bagian forensik menyeruak melendungkan hati kedua pasangan orangtua yang sebenarnya telah menyepakati pernikahan kedua anaknya. Mereka tertunduk lesu melihat kedua wajah anaknya yang menjadi blur, persis seperti apa yang dikatakan Wendy kalau fotonya memang barangkali menjadi demikian.
***
Janur Kuning memang dibuat melendung, karena itu adalah simbol cita-cita pengantin. Pengantin akan memulai melengkapi kebahagiaannya dengan proses yang melendung atau mereka menjalani rangkaian urutan peristiwa yang sampai pada tahap melendung. Janur Kuning kini berdiri di depan rumah duka, Janur Kuning kini dibubuhi dengan bendera kuning. Janur Kuning, simbol kebahagiaan, dan kini kebahagiaan itu mungkip menjadi kekal karena Janur Kuning telah membukakan pintu terang di atas dunia ini. Janur Kuning menjadi sahabat untuk bendera kuning.

Jakarta, 16 Agustus 2011
Permenungan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan beri komentar