Tanpa mereka, kita bukanlah orang Jawa...
Total Tayangan Halaman
Jumat, 18 Mei 2012
Rabu, 02 Mei 2012
Sajak Tentang Seorang Anak di Toko Buku
Adalah sebuah kota
Kota itu jauh dari peradaban
Kota itu tidak begitu luas, juga tidak begitu kecil
Jalanan kota itu akan ramai kalau siang dan lengang kalau malam
Aktivitas penduduknya terhenti pada pukul sembilan malam
Penduduknya sebagian besar bekerja di kantor, sisanya mengajar di sekolah, bertani, dan membuka usaha dagang
Ada tiga pasar dan tujuhbelas toko yang berdiri di kota itu
salah satu toko yang terlihat bagus adalah toko buku
Toko Buku ini menjadi toko buku satu-satunya di kota itu
Adalah seorang anak yang tidak bersekolah karena alasan ekonomi
Anak ini laki-laki
Anak ini mencari rejeki dengan membantu bertani, atau bekerja serabutan
setiap anak ini selesai dengan pekerjaannya, ia selalu menyempatkan diri mampir di toko buku yang hanya satu di kota itu
Ia hanya duduk tepekur memandangi megahnya bangunan toko buku
Hal ini dilakukan setiap waktu untuk memandangi dan melamuni toko buku itu
Suatu saat, sang anak masuk ke toko buku
di kantongnya tersimpan uang yang cukup untuk membeli satu buku
berniat untuk membeli buku, sang anak mengamat-amati buku demi buku
Sang Anak mengamati buku-buku hingga berjam-jam lamanya
Sampai pada saat toko buku tutup, sang anak pun pulang dengan hasil yang kosong
Esoknya, setelah sang anak membantu bekerja sebagai kuli, ia kembali ke toko buku itu
Sang anak kembali mengamat-amati buku demi buku sambil menimbang-nimbang prolog beserta epilognya
Sang anak melakukannya hingga berjam-jam lamanya
Sampai pada saat toko buku tutup, sang anak pun pulang dengan hasil yang kosong
Esoknya lagi, setelah sang anak membantu bekerja sebagai kuli toko kelontong, ia kembali ke toko buku itu
Sang anak kembali mengamat-amati buku demi buku sambil menimbang-nimbang sampul dan ilustrasinya
Sang anak melakukannya hingga berjam-jam lamanya
Sampai pada saat toko buku tutup, sang anak pun pulang dengan hasil yang kosong
Esoknya lagi, setelah sang anak membantu bekerja sebagai kuli toko mebel, ia kembali ke toko buku itu
Sang anak kembali mengamat-amati buku demi buku sambil menimbang-nimbang daftar komentarnya
Sang anak melakukannya hingga berjam-jam lamanya
Sampai pada saat toko buku tutup, sang anak pun pulang dengan hasil yang kosong
Esoknya lagi, setelah sang anak membantu bekerja sebagai kuli toko material, ia kembali ke toko buku itu
Sang anak kembali mengamat-amati buku demi buku sambil menimbang-nimbang jenis kertas dan kualitas cetakannya
Sang anak melakukannya hingga berjam-jam lamanya
Sampai pada saat toko buku tutup, sang anak pun pulang dengan hasil yang kosong
Sampai pada suatu ketika setelah sang anak bekerja di keenambelas toko dan ketiga pasar di kota itu, ia mampir lagi ke toko buku itu
Seorang penjaga toko buku itu heran atas kelakuan sang anak yang makin hari makin membuat janggal
Sang penjaga toko buku itu kemudian mengamati gerak-gerik sang anak
Sang penjaga toko buku itu juga membuntuti sang anak kalau sang anak berpindah dari rak buku yang satu ke rak buku yang lain
Hingga pada saat tigapuluh menit sebelum toko buku itu tutup, sang penjaga toko buku itu mendekati sang anak sambil bertanya, "apa yang kamu cari di toko buku ini? Sudah sembilan belas hari kau disini dan kau tidak juga mendapatkan buku yang kau mau."
Sang anak hanya tersenyum dan menjawab pertanyaan itu demikian,"Aku mencari Tuhan pada setiap jenis buku. Kabari aku kalau ada, pada buku apa, jenis apa, siapa penulisnya, dan berapa harganya, sebab aku ingin cepat-cepat membelinya sebelum Tuhan yang terselip di dalam buku itu dibeli oleh orang lain!"
Perpustakaan Kebun Apel
Senin, 26 Maret 2012
Selasa, 24 Januari 2012
Rokok Rara Mendut
Ketika aku pulang ke Jawa, aku menyempatkan diri ke pasar Loak untuk melihat barang langka apa yang dijual di pasar itu. Aku berjalan-jalan ke seluruh lapak pedagangnya dan ada lapak istimewa yang sangat menawan hati. Lapak itu adalah lapak Rokok langka.
/1/ Aku Jongkok untuk melihat rokok langka apa saja yang dijual disitu. Aku melihat banyak rokok langka yang bernama lucu-lucu dan memiliki logo jiplakan dari rokok sukses yang beredar di pasaran. Aku memegang-megang setiap bungkus rokok, aku cium aromanya, dan aku lihat detail bungkusnya untuk melihat nama perusahaannya.
/2/ Aku mulai mengambil bungkus rokok yang lainnya, dan hampir semua kuperiksa satu persatu. Aku melihat ada satu pak rokok yang mentereng dan menarik hati untuk dimiliki. Aku melihat bungkus rokok itu dengan teliti dan aku menemukan tulisan yang sangat menggelikan, "Iki Rokok Rara Mendut, Rokok kanggo Nglembak Jiwaning Wanita dadi Prajaka utawa Jiwa Prajaka dadi Wanita!" Kemudian aku periksa gambar depan bungkus rokok itu dan memang gambarnya sangat menarik. Gambar sesosok Wanita Cantik dengan busana khas Jawa. Wanita itu duduk dengan cara Waranggana atau duduk seperti layaknya seorang sinden. Gambar Wajahnya sangat apik dan menarik untuk dilihat terus-menerus.
/3/ Gambar wanita itu sangat menarik dan sangat rapi desainnya. Parasnya cantik sehingga matanya seolah mengajak ku saling pandang. Wanita itu seolah berkata kepadaku demikian, "ayo, beli saja rokok yang kamu pegang ini! akan ada hal besar yang ditakdirkan untukmu setelah kamu mencicipi rokok yang kamu pegang ini!" Dengan kata lain, Wanita itu seolah mengajakku mengobrol lewat tatapan matanya untuk memasarkan rokok itu. Ah, berapapun harganya, paling tidak sampai dua puluh ribuan.
/4/ Aku tanya kepada penjualnya, seorang lelaki yang menggunakan baju surjan, "mas, harga rokok ini berapa?"
Maka jawab penjual itu, "itu harganya lima belas ribu, isinya enam belas batang."
Pikiranku benar, ternyata harganya tidak sampai dua buluh ribu. "ya sudah mas, aku ambil rokok ini."
/5/ Aku siapkan uang dua puluh ribu selembar untuk membayar, tetapi penjualnya buru-buru mencegah dengan pertanyaan, "mas, apa bener mas-nya mau beli rokok ini?"
"lha, emangnya kenapa to mas?"
" Ini rokoknya ndak main-main lho mas! sudah baca tulisannya yang ada di bungkusnya?"
"Sudah, lha paling itu lak cara kreatif orang memasarkan produk to?"
"Haha, saya sih gak mau tanggung kalo masnya kenapa-napa."
"Ya, saya ambil aja lah, memang menarik rokoknya! Lima belas to?"
"Ya mas, beneran ini ya mas, nggak mau yang lain? kayak Jirolu? Percaya Jiwa? Halim?"
"Saya ambil ini aja mas, Rokok Rara Mendut, kayaknya mantep!"
"Ya sudah lho mas, kalau ada apa-apa saya ndak nanggung ya, monggo, kembalinya lima ribu ya mas."
/6/ Ah, obrolan konyol! Rokok kok ada konsekuensi macem-macem? Kalau konsekuensi tentang Kanker, Impotensi, dan Serangan Jantung memang sudah lama didengungkan. Tinggal kapan itu terjadi toh aku tidak begitu tahu. Aku baca ulang tulisan yang tadi, "Iki Rokok Rara Mendut, Rokok kanggo Nglembak Jiwaning Wanita dadi Prajaka utawa Jiwa Prajaka dadi Wanita!" artinya bisa mengubah jiwa wanita menjadi pria atau sebaliknya, tergantung siapa yang merokok. Ha-ha-ha, cara yang kreatif.
/7/ Aku sampai di rumah dan aku langsung buat secangkir kopi. Aku ambil sebatang dan astaga bukan kertas yang membungkus tembakaunya, melainkan sabut jagung. Wah, rasa-rasanya aku semakin tertantang untuk menghisap rokok itu. Aku coba nyalakan sebatang di saat itu waktu menunjukan pukul 19.45. Nikmat betul rasanya.
/8/ Aku tertantang untuk mencobanya lagi. Aku nyalakan lagi sebatang sambil menikmati kopi yang kubuat sendiri. Disini aku sendiri. Keluargaku masih di kota metropolitan. Aaaahh, nikmat dan melegakan pikiran. Itulah yang kurasakan!
/9/ Hah! Rasanya aku tertidur pulas di kursi. Hari ini sudah pagi setelah semalaman aku menikmati apa yang kubeli. Badanku agak terasa aneh. Ada apa ini? Aku memutuskan untuk pergi mencuci muka di kamar mandi sambil menggosok gigiku yang menyebabkan nafasku bau karena tidak makan malam, tetapi malah merokok dua batang. Sambil mencuci muka aku melihat wajahku. Heran, rasanya cantik benar wajahku ini. Semua kumis dan jenggotku hilang. Otot-otot maskulinku lenyap berubah menjadi lengan yang indah layaknya lengan wanita. Aku buka bajuku dan aku buka celanaku untuk memastikan yang lain. Alat kelamin dan dadaku masih laki-laki, kenapa tangan dan lekuk tubuhku wanita? Pikiranku mengerjap dan teringat akan kata-kata yang ada pada bungkus rokok itu.
/10/ Aku membaca lagi tulisan itu, "Iki Rokok Rara Mendut, Rokok kanggo Nglembak Jiwaning Wanita dadi Prajaka utawa Jiwa Prajaka dadi Wanita!" Rupanya benar apa yang dikatakan oleh pedagang itu. Tetapi mengapa aku tidak menyesal?
Hah! Itulah ingatanku sepuluh tahun yang lalu. Yang membawa aku menjadi seorang penari. Aku menarikan gerakan-gerakan indah tanpa peduli apakah aku memerankan gerakan seorang wanita atau pria. Aku cantik! Memang itulah aku. Setidaknya, sang Hyang Larasati menjadi sahabatku saat ini.
Stasiun Maguwo 23 Januari 2012
A-N-M
/1/ Aku Jongkok untuk melihat rokok langka apa saja yang dijual disitu. Aku melihat banyak rokok langka yang bernama lucu-lucu dan memiliki logo jiplakan dari rokok sukses yang beredar di pasaran. Aku memegang-megang setiap bungkus rokok, aku cium aromanya, dan aku lihat detail bungkusnya untuk melihat nama perusahaannya.
/2/ Aku mulai mengambil bungkus rokok yang lainnya, dan hampir semua kuperiksa satu persatu. Aku melihat ada satu pak rokok yang mentereng dan menarik hati untuk dimiliki. Aku melihat bungkus rokok itu dengan teliti dan aku menemukan tulisan yang sangat menggelikan, "Iki Rokok Rara Mendut, Rokok kanggo Nglembak Jiwaning Wanita dadi Prajaka utawa Jiwa Prajaka dadi Wanita!" Kemudian aku periksa gambar depan bungkus rokok itu dan memang gambarnya sangat menarik. Gambar sesosok Wanita Cantik dengan busana khas Jawa. Wanita itu duduk dengan cara Waranggana atau duduk seperti layaknya seorang sinden. Gambar Wajahnya sangat apik dan menarik untuk dilihat terus-menerus.
/3/ Gambar wanita itu sangat menarik dan sangat rapi desainnya. Parasnya cantik sehingga matanya seolah mengajak ku saling pandang. Wanita itu seolah berkata kepadaku demikian, "ayo, beli saja rokok yang kamu pegang ini! akan ada hal besar yang ditakdirkan untukmu setelah kamu mencicipi rokok yang kamu pegang ini!" Dengan kata lain, Wanita itu seolah mengajakku mengobrol lewat tatapan matanya untuk memasarkan rokok itu. Ah, berapapun harganya, paling tidak sampai dua puluh ribuan.
/4/ Aku tanya kepada penjualnya, seorang lelaki yang menggunakan baju surjan, "mas, harga rokok ini berapa?"
Maka jawab penjual itu, "itu harganya lima belas ribu, isinya enam belas batang."
Pikiranku benar, ternyata harganya tidak sampai dua buluh ribu. "ya sudah mas, aku ambil rokok ini."
/5/ Aku siapkan uang dua puluh ribu selembar untuk membayar, tetapi penjualnya buru-buru mencegah dengan pertanyaan, "mas, apa bener mas-nya mau beli rokok ini?"
"lha, emangnya kenapa to mas?"
" Ini rokoknya ndak main-main lho mas! sudah baca tulisannya yang ada di bungkusnya?"
"Sudah, lha paling itu lak cara kreatif orang memasarkan produk to?"
"Haha, saya sih gak mau tanggung kalo masnya kenapa-napa."
"Ya, saya ambil aja lah, memang menarik rokoknya! Lima belas to?"
"Ya mas, beneran ini ya mas, nggak mau yang lain? kayak Jirolu? Percaya Jiwa? Halim?"
"Saya ambil ini aja mas, Rokok Rara Mendut, kayaknya mantep!"
"Ya sudah lho mas, kalau ada apa-apa saya ndak nanggung ya, monggo, kembalinya lima ribu ya mas."
/6/ Ah, obrolan konyol! Rokok kok ada konsekuensi macem-macem? Kalau konsekuensi tentang Kanker, Impotensi, dan Serangan Jantung memang sudah lama didengungkan. Tinggal kapan itu terjadi toh aku tidak begitu tahu. Aku baca ulang tulisan yang tadi, "Iki Rokok Rara Mendut, Rokok kanggo Nglembak Jiwaning Wanita dadi Prajaka utawa Jiwa Prajaka dadi Wanita!" artinya bisa mengubah jiwa wanita menjadi pria atau sebaliknya, tergantung siapa yang merokok. Ha-ha-ha, cara yang kreatif.
/7/ Aku sampai di rumah dan aku langsung buat secangkir kopi. Aku ambil sebatang dan astaga bukan kertas yang membungkus tembakaunya, melainkan sabut jagung. Wah, rasa-rasanya aku semakin tertantang untuk menghisap rokok itu. Aku coba nyalakan sebatang di saat itu waktu menunjukan pukul 19.45. Nikmat betul rasanya.
/8/ Aku tertantang untuk mencobanya lagi. Aku nyalakan lagi sebatang sambil menikmati kopi yang kubuat sendiri. Disini aku sendiri. Keluargaku masih di kota metropolitan. Aaaahh, nikmat dan melegakan pikiran. Itulah yang kurasakan!
/9/ Hah! Rasanya aku tertidur pulas di kursi. Hari ini sudah pagi setelah semalaman aku menikmati apa yang kubeli. Badanku agak terasa aneh. Ada apa ini? Aku memutuskan untuk pergi mencuci muka di kamar mandi sambil menggosok gigiku yang menyebabkan nafasku bau karena tidak makan malam, tetapi malah merokok dua batang. Sambil mencuci muka aku melihat wajahku. Heran, rasanya cantik benar wajahku ini. Semua kumis dan jenggotku hilang. Otot-otot maskulinku lenyap berubah menjadi lengan yang indah layaknya lengan wanita. Aku buka bajuku dan aku buka celanaku untuk memastikan yang lain. Alat kelamin dan dadaku masih laki-laki, kenapa tangan dan lekuk tubuhku wanita? Pikiranku mengerjap dan teringat akan kata-kata yang ada pada bungkus rokok itu.
/10/ Aku membaca lagi tulisan itu, "Iki Rokok Rara Mendut, Rokok kanggo Nglembak Jiwaning Wanita dadi Prajaka utawa Jiwa Prajaka dadi Wanita!" Rupanya benar apa yang dikatakan oleh pedagang itu. Tetapi mengapa aku tidak menyesal?
Hah! Itulah ingatanku sepuluh tahun yang lalu. Yang membawa aku menjadi seorang penari. Aku menarikan gerakan-gerakan indah tanpa peduli apakah aku memerankan gerakan seorang wanita atau pria. Aku cantik! Memang itulah aku. Setidaknya, sang Hyang Larasati menjadi sahabatku saat ini.
Stasiun Maguwo 23 Januari 2012
A-N-M
Minggu, 25 Desember 2011
Katarina
Bendera putih berkibar lemah di papan nama gang Semeru. Aku merasakan irama doa yang khusyuk mendoakan kematian seorang wanita muda berusia 23 tahun. Aku merasakan betapa dalamnya duka keluarga wanita muda itu. Nama wanita itu Katarina Supini. Dia adalah wanita yang kukenal sangat baik perangainya juga supel orangnya.
Aku masuk ke dalam gang Semeru dan langsung menuju rumah tempat jenazah Katarina disemayamkan. Kemudian aku merasakan irama doa requiem yang menusuk-nusuk hati. Doa itu terngiang di telingaku dan menjadikan hatiku tersayat. Aku memang mengenal baik Katarina. Dia sahabatku ketika mengikuti paduan suara gereja bersama.
Aku melepaskan sepatuku di luar rumah duka dan berbaris menuju ke dalam ruang tamu. Disitulah peti jenazah diletakkan. Di depan peti terpampang salib, lilin, dan foto Katarina yang memiliki paras yang manis.
Jantungku berdegup dengan kencang ketika hendak melihat jenazah Katarina. Aku merinding. Mendadak aku terdiam menganga hingga air mataku jatuh ke dalam peti. Aku melihatnya dengan perasaan sakit yang awet hinggap di hatiku. Kedukaanku begitu mendalam. Dengan spontan aku menyingsingkan lengan baju hitamku dan mulai membelai rambut jenazah Katarina. Aku menangis di atas jenazah. Seketika itu juga ingatanku melayang.
Aku teringat akan beberapa jam yang lalu. Aku dan Katarina adalah dua sahabat yang sering meluangkan waktu untuk curhat, cerita-cerita ngalor ngidul. Kami bisa akrab karena kami bersama-sama mengikuti paduan suara gereja Cantus Gloria.
Aku teringat akan jam-jam ketika Katarina masih bernafas. Urutan kejadian ini masuk ke dalam memoriku. Ketika itu kami berlatih paduan suara di gedung aula Pastoran. Ketika itu hari Jumat siang. Hari Jumat yang menyejukkan hatiku karena suara Katarina melengking indah. Dia mungkin bisa menguasai tujuh oktaf tingkat nada. Hari mulai sore dan kami sejenak beristirahat.
“Ton, kamu masih ngajar di PL? aku kangen loh sama anak-anak disana.” Katarina mengajakku mengobrol santai sambil mengisi waktu.
“Iya, aku masih ngajar disana tiap hari Sabtu. Emang suasananya asik yah.”
“Iya ton, anak-anaknya nggemesin deh. Mereka dilatih suaranya dan itu masih ranum banget. Itu yang bikin aku semangat ngajar disana!’
“Lha, emang kenapa kamu gak pernah muncul lagi rin?”
“Anu…, aku nggak muncul lagi soalnya aku udah dipecat sama kepala sekolah disana. Aku dipecat soalnya aku dianggap meresahkan anak-anak sekolah. Yah, kamu tau kan Ton? Aku ini pengidap.”
“Ihh… pengidap apaan? Kamu gak pernah cerita lho!”
“Ya ampun! Bukannya aku pernah cerita? Kamu tahu kan aku punya penyakit?”
“Penyakit apa? Kamu gak pernah bilang.”
“Jangan berlagak gak ngerti deh, aku pernah ngomong pas kita lagi makan bakso bareng.”
“Apa itu?”
“Guuussstiiiii, jadi orang kok lalen to kowe ki?”
“opo toh?”
Katarina langsung menepuk perutku yang membal itu sambil membisikkan lirih apa maksud dia. “Iyooo, aku ki nduwe penyakit AIDS!”
“Gusti! Jadi itu beneran? Tak kira kamu tuh bercanda!” Aku menimpalinya dengan berlagak untuk mengalihkan pikiranku yang sebenarnya tahu banyak hal tentang dia.
“Iyoo, gustiiii…. Nasibku kok koyo ngene. Setiap minggu harus vaksin salvarzan untuk imunitasku. Kalau enggak aku terancam mati. Padahal harga vaksin itu sekalinya 1 juta setengah!”
“Lha? Kalo itu sih Rin… aku bisa bantu. Tapi yang bikin aku heran itu kok bisa-bisanya kamu dipecat?”
“Ya, tahu sendirilah! AIDS itu nular Ton. Aku dipecat karena aku dianggap sebagai manusia berbahaya, yang mengancam kesehatan semuanya. Aku disuruh masuk panti rehab. Tapi aku gak mau! Sekalinya aku hidup, aku gak mau ke panti rehab!”
Begitulah Katarina menceritakan kisah sedihnya karena dia terkena penyakit aneh itu. Katarina begitu semangat untuk hidup sampai-sampai dia tidak mau dibawa ke panti rehab. Aku salut sama dia. Dia wanita tegar. Dasar pengen tahu, aku mau ngulik kenapa dia bisa kena AIDS.
Tanpa ragu-ragu dan berlagak sok jadi kakak, aku bertanya demikian, “yang bikin kamu AIDS itu siapa toh?”
Katarina tampak malas menjawab.
Aku langsung saja nyecer dia, “kamu cerita aja deh! Gak mungkin aku sebarin ke temen-temen. Lagian yang tahu kamu kena penyakit itu bukannya cuma aku?”
“Ton, kalau aku kasih tahu kamu, janji gak akan bilang siapa-siapa ya?”
“Siiippp, santai aja lah mbakyu!”
“Ton, aku ini manusia dengan dua muka. Aku ini kena penyakit ini karena aku ngeple. Aku ngeple karena aku harus lanjut kuliah. Kenapa aku ngeple? Ya karena badanku yang semok ini. Laki-laki buncit banyak yang langganan sama aku. Sampai pas itu gak sadar, aku ikut-ikutan nyuntik Feromine biar rasanya ngefly. Tapi ya gitu, ujung-ujungnya aku batuk darah dan dokter bilang aku positif AIDS.”
“Lha kenapa toh sama orang tua kamu? Kamu gak ambil beasiswa?”
“Ya, orang tua gak ada penghasilan tetap. Beasiswa kan harus ada persyaratan lengkap. Kami bukan warga negara yang baik. Semua data kependudukan itu udah lama dan masa berlakunya habis. Kalo mau bikin lagi ya bakal duitnya banyak. Aku juga kesel sama orang tuaku sendiri. Mereka kayak gak mau ngelawan tantangan hidup. Aku dianggap bajingan karena perilakuku! Orang tuaku udah buta, gak mau kenal lagi!”
Aku akhirnya tahu bagaimana kisah dia hidup dengan bebannya. Aku tahu bagaimana dia berjuang demi uang kuliahnya. Menjadi jalang demi uang kuliah mungkin juga dilakukan oleh segelintir orang yang biasa disebut dengan ayam kampus. Tapi, aku salut karena dia masih ingat Tuhan. Dia masih nyanyi di gereja bareng paduan suara.
Istirahat paduan suara pun berakhir. Kami masuk kembali ke dalam aula pastoran. Romo pembimbing pun mem-briefing kami untuk koor. Setelah briefing selesai, kami langsung pulang. Sebelum aku menunggangi motorku, Katarina memanggilku.
“Ton, aku mau ngasih ini buat kamu!” dia kemudian menyodorkan boneka sulaman buatan sendiri. “Jangan sampe ilang ya, jiwaku ada di boneka itu. Kalo aku mati, aku bisa hadir si boneka itu!”
“Hussss…. Kowe ki nek ngomong mbok ngiro-ngiro. Jangan bilang gitu!”
“Hehehe, tapi diterima aja yaa, aku buat itu emang untuk sahabatku yang paling ngerti aku.”
“Tak bawa nih?”
“Iyaaaa, bawa aja! Uhuuuk….uhuuuuk…..uggghhh!”
“ Lho, kamu batuk darah lagi! Ayo pulang aja sama aku. Tak ajak makan dulu!”
“Nggak usah ton, aku bawa motor kok!”
“Kalo makan bareng aja gimana? Ayo tak traktir di warung Babah Liem. Makan yang anget-anget.”
“Oke deh, aku tapi ngintil kamu ya!”
Kami makan di tempat itu. Suasana begitu hangat saat dia menatap mataku. Dia mengatakan bahwa tak ada sahabat yang lebih baik daripada aku, Antonius Wiryawan Sarjono. Dia bahkan mengatakan kalau dia cinta aku.
“Ton, aku Cuma punya kamu yang mau ngerti aku. Aku sayaaaang sama kamu!”
“Rin, aku juga sayang sama kamu. Tapi tahu toh? Aku punya Randini. Aku Cuma sekadar jadi temen ngobrol aja.”
“Aku tahu itu. Tapi naluri jalangku mati kalo liat kamu! Semua laki-laki yang kulihat biasanya memunculkan naluri jalangku!”
“Iyaaa, aku cuma mau ngerti kamu. Kasihan hidupmu!”
“Ton, jangan bilang Randini, pacarmu itu ya! Uhuuuk…uhuuuuk…hoeeekkk!”
Kulihat Katarina muntah darah. Imunitasnya sudah turun. Aku suruh dia buru-buru pulang untuk beristirahat. Aku antarkan dengan cara beriringan naik motor. Kemudian aku pulang. Aku tiba di rumah dan langsung menggeletakan badanku yang lumayan capek ini. Aku membayangkan, betapa sulit hidup si Katarina.
Randini memang ada di Bali. Setidaknya dia tidak tahu kalau aku memperhatikan Katarina layaknya seorang pacar sendiri. Tak sadar, aku tertidur di sofa hingga esok paginya. Dan keesokan paginya ada sms di HP ku. SMS itu berisi berita kematian Katarina yang diakibatkan kekurangan cairan karena imunitasnya terganggu.
“Mas, jangan kelamaan disini! Petinya sebentar lagi mau diangkat!” begitulah tegur seorang koster gereja yang ditugaskan membawa peti.
Aku kemudian mundur ke belakang. Aku melihat orang tua Katarina begitu terpukul. Dia memang anak semata wayang. Aku juga melihat teman-teman Katarina yang sepertinya sesama wanita jalang. Mereka melayat dengan pakaian yang masih bisa dibilang sebagai pakaian semlohay.
Aku memutuskan untuk pulang ke rumah dan tidak ikut upacara pemakaman. Aku pulang dengan bayangan wajah Katarina yang terus-terusan muncul di ingatanku. Sampai di rumah aku melihat adikku sedang asyik main PES. Aku masuk kamar. Aku mengambil boneka pemberian Katarina.
Bertiup angin dari jendela dengan sangat sejuknya. Jendela bergoyang-goyang buka tutup. Aku merinding. Sekali lagi aku merinding. Kemudian tampaklah bayangan Katarina di cermin sambil senyum memandangku.
“Ton, doakan aku ya!”
Depok 22 November 2011
A-N-M
Aku masuk ke dalam gang Semeru dan langsung menuju rumah tempat jenazah Katarina disemayamkan. Kemudian aku merasakan irama doa requiem yang menusuk-nusuk hati. Doa itu terngiang di telingaku dan menjadikan hatiku tersayat. Aku memang mengenal baik Katarina. Dia sahabatku ketika mengikuti paduan suara gereja bersama.
Aku melepaskan sepatuku di luar rumah duka dan berbaris menuju ke dalam ruang tamu. Disitulah peti jenazah diletakkan. Di depan peti terpampang salib, lilin, dan foto Katarina yang memiliki paras yang manis.
Jantungku berdegup dengan kencang ketika hendak melihat jenazah Katarina. Aku merinding. Mendadak aku terdiam menganga hingga air mataku jatuh ke dalam peti. Aku melihatnya dengan perasaan sakit yang awet hinggap di hatiku. Kedukaanku begitu mendalam. Dengan spontan aku menyingsingkan lengan baju hitamku dan mulai membelai rambut jenazah Katarina. Aku menangis di atas jenazah. Seketika itu juga ingatanku melayang.
Aku teringat akan beberapa jam yang lalu. Aku dan Katarina adalah dua sahabat yang sering meluangkan waktu untuk curhat, cerita-cerita ngalor ngidul. Kami bisa akrab karena kami bersama-sama mengikuti paduan suara gereja Cantus Gloria.
Aku teringat akan jam-jam ketika Katarina masih bernafas. Urutan kejadian ini masuk ke dalam memoriku. Ketika itu kami berlatih paduan suara di gedung aula Pastoran. Ketika itu hari Jumat siang. Hari Jumat yang menyejukkan hatiku karena suara Katarina melengking indah. Dia mungkin bisa menguasai tujuh oktaf tingkat nada. Hari mulai sore dan kami sejenak beristirahat.
“Ton, kamu masih ngajar di PL? aku kangen loh sama anak-anak disana.” Katarina mengajakku mengobrol santai sambil mengisi waktu.
“Iya, aku masih ngajar disana tiap hari Sabtu. Emang suasananya asik yah.”
“Iya ton, anak-anaknya nggemesin deh. Mereka dilatih suaranya dan itu masih ranum banget. Itu yang bikin aku semangat ngajar disana!’
“Lha, emang kenapa kamu gak pernah muncul lagi rin?”
“Anu…, aku nggak muncul lagi soalnya aku udah dipecat sama kepala sekolah disana. Aku dipecat soalnya aku dianggap meresahkan anak-anak sekolah. Yah, kamu tau kan Ton? Aku ini pengidap.”
“Ihh… pengidap apaan? Kamu gak pernah cerita lho!”
“Ya ampun! Bukannya aku pernah cerita? Kamu tahu kan aku punya penyakit?”
“Penyakit apa? Kamu gak pernah bilang.”
“Jangan berlagak gak ngerti deh, aku pernah ngomong pas kita lagi makan bakso bareng.”
“Apa itu?”
“Guuussstiiiii, jadi orang kok lalen to kowe ki?”
“opo toh?”
Katarina langsung menepuk perutku yang membal itu sambil membisikkan lirih apa maksud dia. “Iyooo, aku ki nduwe penyakit AIDS!”
“Gusti! Jadi itu beneran? Tak kira kamu tuh bercanda!” Aku menimpalinya dengan berlagak untuk mengalihkan pikiranku yang sebenarnya tahu banyak hal tentang dia.
“Iyoo, gustiiii…. Nasibku kok koyo ngene. Setiap minggu harus vaksin salvarzan untuk imunitasku. Kalau enggak aku terancam mati. Padahal harga vaksin itu sekalinya 1 juta setengah!”
“Lha? Kalo itu sih Rin… aku bisa bantu. Tapi yang bikin aku heran itu kok bisa-bisanya kamu dipecat?”
“Ya, tahu sendirilah! AIDS itu nular Ton. Aku dipecat karena aku dianggap sebagai manusia berbahaya, yang mengancam kesehatan semuanya. Aku disuruh masuk panti rehab. Tapi aku gak mau! Sekalinya aku hidup, aku gak mau ke panti rehab!”
Begitulah Katarina menceritakan kisah sedihnya karena dia terkena penyakit aneh itu. Katarina begitu semangat untuk hidup sampai-sampai dia tidak mau dibawa ke panti rehab. Aku salut sama dia. Dia wanita tegar. Dasar pengen tahu, aku mau ngulik kenapa dia bisa kena AIDS.
Tanpa ragu-ragu dan berlagak sok jadi kakak, aku bertanya demikian, “yang bikin kamu AIDS itu siapa toh?”
Katarina tampak malas menjawab.
Aku langsung saja nyecer dia, “kamu cerita aja deh! Gak mungkin aku sebarin ke temen-temen. Lagian yang tahu kamu kena penyakit itu bukannya cuma aku?”
“Ton, kalau aku kasih tahu kamu, janji gak akan bilang siapa-siapa ya?”
“Siiippp, santai aja lah mbakyu!”
“Ton, aku ini manusia dengan dua muka. Aku ini kena penyakit ini karena aku ngeple. Aku ngeple karena aku harus lanjut kuliah. Kenapa aku ngeple? Ya karena badanku yang semok ini. Laki-laki buncit banyak yang langganan sama aku. Sampai pas itu gak sadar, aku ikut-ikutan nyuntik Feromine biar rasanya ngefly. Tapi ya gitu, ujung-ujungnya aku batuk darah dan dokter bilang aku positif AIDS.”
“Lha kenapa toh sama orang tua kamu? Kamu gak ambil beasiswa?”
“Ya, orang tua gak ada penghasilan tetap. Beasiswa kan harus ada persyaratan lengkap. Kami bukan warga negara yang baik. Semua data kependudukan itu udah lama dan masa berlakunya habis. Kalo mau bikin lagi ya bakal duitnya banyak. Aku juga kesel sama orang tuaku sendiri. Mereka kayak gak mau ngelawan tantangan hidup. Aku dianggap bajingan karena perilakuku! Orang tuaku udah buta, gak mau kenal lagi!”
Aku akhirnya tahu bagaimana kisah dia hidup dengan bebannya. Aku tahu bagaimana dia berjuang demi uang kuliahnya. Menjadi jalang demi uang kuliah mungkin juga dilakukan oleh segelintir orang yang biasa disebut dengan ayam kampus. Tapi, aku salut karena dia masih ingat Tuhan. Dia masih nyanyi di gereja bareng paduan suara.
Istirahat paduan suara pun berakhir. Kami masuk kembali ke dalam aula pastoran. Romo pembimbing pun mem-briefing kami untuk koor. Setelah briefing selesai, kami langsung pulang. Sebelum aku menunggangi motorku, Katarina memanggilku.
“Ton, aku mau ngasih ini buat kamu!” dia kemudian menyodorkan boneka sulaman buatan sendiri. “Jangan sampe ilang ya, jiwaku ada di boneka itu. Kalo aku mati, aku bisa hadir si boneka itu!”
“Hussss…. Kowe ki nek ngomong mbok ngiro-ngiro. Jangan bilang gitu!”
“Hehehe, tapi diterima aja yaa, aku buat itu emang untuk sahabatku yang paling ngerti aku.”
“Tak bawa nih?”
“Iyaaaa, bawa aja! Uhuuuk….uhuuuuk…..uggghhh!”
“ Lho, kamu batuk darah lagi! Ayo pulang aja sama aku. Tak ajak makan dulu!”
“Nggak usah ton, aku bawa motor kok!”
“Kalo makan bareng aja gimana? Ayo tak traktir di warung Babah Liem. Makan yang anget-anget.”
“Oke deh, aku tapi ngintil kamu ya!”
Kami makan di tempat itu. Suasana begitu hangat saat dia menatap mataku. Dia mengatakan bahwa tak ada sahabat yang lebih baik daripada aku, Antonius Wiryawan Sarjono. Dia bahkan mengatakan kalau dia cinta aku.
“Ton, aku Cuma punya kamu yang mau ngerti aku. Aku sayaaaang sama kamu!”
“Rin, aku juga sayang sama kamu. Tapi tahu toh? Aku punya Randini. Aku Cuma sekadar jadi temen ngobrol aja.”
“Aku tahu itu. Tapi naluri jalangku mati kalo liat kamu! Semua laki-laki yang kulihat biasanya memunculkan naluri jalangku!”
“Iyaaa, aku cuma mau ngerti kamu. Kasihan hidupmu!”
“Ton, jangan bilang Randini, pacarmu itu ya! Uhuuuk…uhuuuuk…hoeeekkk!”
Kulihat Katarina muntah darah. Imunitasnya sudah turun. Aku suruh dia buru-buru pulang untuk beristirahat. Aku antarkan dengan cara beriringan naik motor. Kemudian aku pulang. Aku tiba di rumah dan langsung menggeletakan badanku yang lumayan capek ini. Aku membayangkan, betapa sulit hidup si Katarina.
Randini memang ada di Bali. Setidaknya dia tidak tahu kalau aku memperhatikan Katarina layaknya seorang pacar sendiri. Tak sadar, aku tertidur di sofa hingga esok paginya. Dan keesokan paginya ada sms di HP ku. SMS itu berisi berita kematian Katarina yang diakibatkan kekurangan cairan karena imunitasnya terganggu.
“Mas, jangan kelamaan disini! Petinya sebentar lagi mau diangkat!” begitulah tegur seorang koster gereja yang ditugaskan membawa peti.
Aku kemudian mundur ke belakang. Aku melihat orang tua Katarina begitu terpukul. Dia memang anak semata wayang. Aku juga melihat teman-teman Katarina yang sepertinya sesama wanita jalang. Mereka melayat dengan pakaian yang masih bisa dibilang sebagai pakaian semlohay.
Aku memutuskan untuk pulang ke rumah dan tidak ikut upacara pemakaman. Aku pulang dengan bayangan wajah Katarina yang terus-terusan muncul di ingatanku. Sampai di rumah aku melihat adikku sedang asyik main PES. Aku masuk kamar. Aku mengambil boneka pemberian Katarina.
Bertiup angin dari jendela dengan sangat sejuknya. Jendela bergoyang-goyang buka tutup. Aku merinding. Sekali lagi aku merinding. Kemudian tampaklah bayangan Katarina di cermin sambil senyum memandangku.
“Ton, doakan aku ya!”
Depok 22 November 2011
A-N-M
Janur kuning
Janur Kuning memang merupakan sebuah tanda yang khas dan identik dengan adat pernikahan. Janur Kuning menjadi sebuah tanda budaya yang banyak diketahui maksudnya. Janur Kuning dibuat melendung, artinya sesuai dengan cita-cita pengantin baru supaya cepat menjadi melendung. Kebahagiaan pengantin baru pasti akan lengkap jika telah terjadi sebuah proses menuju ke bentuk yang melendung. Janur Kuning dibuat melendung, supaya pengantin diharapkan bisa melendung.
Janur Kuning, itu yang sudah terpikirkan dalam benak Wendy dan Anggie. Mereka memang mantap meneruskan hubungan mereka hingga membuat Janur Kuning. Mereka berangan-angan supaya segera melendung sebelum melendung itu dilarang karena banyaknya orang yang terlanjur melendung. Wendy melendungkan Anggie atau Anggie melendungkan Wendy itu urusan nanti, sebab melendung itu banyak sekali bentuk-bentuknya. Yang jelas mereka ingin melendung, entah itu melendung bukan bagian tubuhnya atau bagian tubuhnya yang tengah ataupun bawah. Dalam arti kecil, ada proses yang disebut senggama entah se-nggama, atau dua-nggama, itu terserah mereka.
Wendy lelaki berusia 27 tahun, sebuah usia yang dipenuhi semangat bergelora dalam dunia karirnya. Dia seorang musisi. Anggie wanita berusia 24 tahun, usia matang dan dewasa untuk menjadikan sebuah hubungan cinta hingga mencapai tahap melendung. Wendy yang ingin membuat semua konsep pernikahannya karena dia bisa menanganinya dengan cara yang kreatif dan berbeda dengan konsep pernikahan yang biasa. Istilah lainnya, dia ingin membuat acara pernikahannya lebih melendung dibandingkan dengan konsep acara pernikahan yang lain. Melendung, sebuah kata yang bermakna membulat. Bulat, sebuah bentuk yang tak kan ada habisnya jika dicari simetri putarnya.
Wendy berencana membuat sebuah album foto pra pernikahan yang lebih melendung dibandingkan teman-temannya yang sudah menikah. Wendy ingin mengajak foto bersama Anggie ke sebuah tempat yang bernama Pulau Surga, pulau di jajaran kepulauan di utara Ibukota Negara yang luasnya hanya 8 petak sawah dan ditumbuhi pohon nyiur dan terdapat benteng tua yang memiliki kesan eksotis. Dijamin, konsep foto yang dikerjakan di tempat itu akan menjadi melendung, sama melendungnya dengan cita-cita Wendy dan Anggie.
“Nggie, rencana aku mau ajak kamu foto di pulau Surga, ntar kita foto diurus sendiri aja. Kita bawa tripod sama kamera, itu cukup kok Nggie.”
“Ah, kamu ini, emang beda dari yang lain. Yang aku kenal kamu ini suka yang aneh-aneh dan suka ngelamun sendiri kalau di rumah tu… pas lamaran aku aja kamu banyak diemnya, tapi kamu yang kayak gitu udah buat aku nyaman dari apa yang kamu kerjain, seenggaknya cowokku ini emang beda. Aku suka konsep kamu yang tadi, Wen.”
”Haha, emang aku gimana? Aneh gitu? Tapi emang aku rasa akan lebih berkesan kalo gitu, Nggie.”
“Enggak, aku suka kok cara kamu yang beda itu. Terus, kapan kita berangkatnya ke sana buat foto bareng?”
“Besok sabtu aja pas weekend, kan, waktu kita banyak sebenernya, Cuma aku ngerasa aja kalau Sabtu besok itu hari yang paling baik. Kita berangkat naik kereta ke stasiun pelabuhan, ntar kita ganti naik perahu omprengan ke sana. Paling, 50 ribu aja kurang lah Nggie.”
“Oke deh, Setuju sama kamu!”
***
Sabtu yang melendung itu telah tiba. Mereka hendak berangkat bersama dari stasiun paling selatan di kawasan kota itu menuju stasiun pelabuhan. Lima puluh enam menit mereka menempuh perjalanan dengan kereta. Nantinya, dilanjutkan dengan naik perahun selama dua jam. Hitung saja normalnya. Dua jam sama dengan seratus dua puluh menit. Ditambah dengan Lima puluh enam menit menjadi seratus tujuh puluh enam menit untuk menuju ke sebuah tempat yang dinamakan pulau surga itu. Wendy memilih cara itu karena Wendy suka menikmati suasana yang demikian karena bahan obrolan menjadi banyak selama perjalanan. Wendy, seorang seniman, muda dan cita-citanya melendung.
“Eh, Wen, emang di pulau itu pemandangannya gimana sih? Kok kayaknya kamu seneng banget pilih tempat itu, kayak jadi semangat, gak kayak biasanya kamu suka ngelamun.”
“Iya, kan kita mau foto. Fotonya di tempat yang bagus lagi.”
“Yaelah, Cuma foto doang, kamu bisa sesemangat itu?”
“ Iya Nggie, soalnya foto yang kita buat nanti gak sembarang foto. Foto itu mungkin bisa jadi blur atau mungkin gak ada gambar kita sama sekali.”
“Maksud kamu?”
“Ahh, enggak, kita pasti bisa foto di sana!” Wendy pun menyeloroh. Otaknya melendung-mengempis memikirkan bagaimana nantinya ketika berfoto. Atau dia sedang memikirkan hal-hal yang tidak bisa dipikirkan Anggie. Anggie hanya pasif karena sangat mencintai Wendy, atau istilah lainnya, Anggie sangat melendung perasaannya kepada Wendy. Anggie merasa dia harus berproses untuk bisa jalan pemikiran Wendy yang unik dan memicu untuk dikenal dan dicintai. Layaknya iman dalam keagamaan, jalan pemikiran Wendy merupakan sebuah Paradoks.
Mereka telah berada di dalam kereta menuju stasiun pelabuhan. Saat ini menit ke 40, artinya masih ada 136 menit lagi untuk sampai ke pulau surga dengan kecepatan rata-rata yang normal. Mereka masih berdiskusi tentang konsep acara pernikahannya.
Tiba-tiba, kereta berhenti di stasiun kota tengah. Stasiun yang cukup padat dan ramai oleh orang yang beraktivitas. Waktu berhentinya cukup lama karena cukup ada gangguan atau pun masalah dalam persinyalan kereta api. Tetapi buat Wendy dan Anggie, mereka tetap tak acuh dengan situasi dan kondisi tersebut. Yang mereka pikirkan, hanyalah foto-foto yang akan mereka hasilkan pasti melendung. Mereka tetap mendiskusikan bagaimana hasil fotonya nanti ketika mereka telah melihat lansekap pulau Surga yang mungkin melendung.
Tetapi, seiring dengan lama berhenti kereta, Wendy kunjung bosan dengan lama berhentinya kereta tersebut. Artinya Wendy yang selama ini dikenal kalem dan cool menjadi gelisah dan mencak-mencak karena lamanya kereta itu berhenti. Kereta berhenti hampir 40 menit, estimasi waktu yang diperkirakan 176 menit menjadi berubah drastis. Dalam kondisi yang mulai membosankan ini, Wendy mulai berani mengumpat dengan keras.
“Aaaaaahhhh, Anjiiiiiinnggg, nih kreta lama banget sih?”
***
Setelah mengumpat, kereta itu kembali berjalan pelan-pelan. Anggie mendengarkan umpatan Wendy dan menjadi gemetar keheranan karena sikapnya yang mulai berubah. Anggie pun hanya membuang muka ke samping, tak mau melihat gelagat Wendy saat itu. Kereta kembali berjalan dan membuat mereka sedikit bernafas lega karena pengapnya udara gerbong mulai terasa ada angin melintasi mereka. Wendy hanya merengut, melihat kaca jendela kereta yang disuguhkan pemandangan pemukiman kumuh yang melendung.
“Wen, kenapa kamu tadi marah-marah sendiri? Kamu gak kalem lagi yah?” Anggie menyeloroh Wendy dengan nada yang sedikit meningkat menantang karena keheranannya.
“Ah, kamu gak tahu, apa yang bakal jadi peristiwa nantinya. Aku Kesal!”
“Ya udah, gak usah sampe marah-marah gitu kenapa? Orang-orang liat jadi gak enak, kan?”
Anggie menjelaskan situasi tadi yang sebenarnya cukup memalukan di depan banyak penumpang lain.
Setelah pembicaraan mereka berdua usai, kereta mulai meningkat kecepatannya.
***
Orang-orang berkerumun di pinggir rel sambil melihat menyeruak heran. Bangkai kereta empat gerbong terguling di dekat bantaran muara sungai yang penuh sampah. Nampaknya kereta telah terguling anjlok dari rel dan badan kereta menimpa rumah-rumah penduduk sekitar. Persambungan kereta nampak ada yang melendung ke atas dan menghimpit beberapa penumpang yang telah menjadi korban jiwa. Para korban jiwa pun di kumpulkan dan diperiksa identitasnya.
Tampaklah dua pasang orang tua yang terkesan sangat kaya datang memeriksa identitas korban. Mereka datang karena mereka pernah mendapat ijin dari anak-anaknya dengan menaiki kereta. Nyata, dua korban jiwa dengan wajah yang remuk, tak terlihat melendung lagi, namun kartu identitasnya menunjukkana nama yang melendungkan jantung mereka.
“KTP atas nama Wendy Suryo, usia 27 Tahun, asal Jakarta. Silahkan bagi yang mencari nama korban tersebut mengurus di bagian forensik. Yang kedua, Anggita Cahyani, asal Jakarta, Usia 24 Tahun…. “
Suara kepala bidang bagian forensik menyeruak melendungkan hati kedua pasangan orangtua yang sebenarnya telah menyepakati pernikahan kedua anaknya. Mereka tertunduk lesu melihat kedua wajah anaknya yang menjadi blur, persis seperti apa yang dikatakan Wendy kalau fotonya memang barangkali menjadi demikian.
***
Janur Kuning memang dibuat melendung, karena itu adalah simbol cita-cita pengantin. Pengantin akan memulai melengkapi kebahagiaannya dengan proses yang melendung atau mereka menjalani rangkaian urutan peristiwa yang sampai pada tahap melendung. Janur Kuning kini berdiri di depan rumah duka, Janur Kuning kini dibubuhi dengan bendera kuning. Janur Kuning, simbol kebahagiaan, dan kini kebahagiaan itu mungkip menjadi kekal karena Janur Kuning telah membukakan pintu terang di atas dunia ini. Janur Kuning menjadi sahabat untuk bendera kuning.
Jakarta, 16 Agustus 2011
Permenungan
Janur Kuning, itu yang sudah terpikirkan dalam benak Wendy dan Anggie. Mereka memang mantap meneruskan hubungan mereka hingga membuat Janur Kuning. Mereka berangan-angan supaya segera melendung sebelum melendung itu dilarang karena banyaknya orang yang terlanjur melendung. Wendy melendungkan Anggie atau Anggie melendungkan Wendy itu urusan nanti, sebab melendung itu banyak sekali bentuk-bentuknya. Yang jelas mereka ingin melendung, entah itu melendung bukan bagian tubuhnya atau bagian tubuhnya yang tengah ataupun bawah. Dalam arti kecil, ada proses yang disebut senggama entah se-nggama, atau dua-nggama, itu terserah mereka.
Wendy lelaki berusia 27 tahun, sebuah usia yang dipenuhi semangat bergelora dalam dunia karirnya. Dia seorang musisi. Anggie wanita berusia 24 tahun, usia matang dan dewasa untuk menjadikan sebuah hubungan cinta hingga mencapai tahap melendung. Wendy yang ingin membuat semua konsep pernikahannya karena dia bisa menanganinya dengan cara yang kreatif dan berbeda dengan konsep pernikahan yang biasa. Istilah lainnya, dia ingin membuat acara pernikahannya lebih melendung dibandingkan dengan konsep acara pernikahan yang lain. Melendung, sebuah kata yang bermakna membulat. Bulat, sebuah bentuk yang tak kan ada habisnya jika dicari simetri putarnya.
Wendy berencana membuat sebuah album foto pra pernikahan yang lebih melendung dibandingkan teman-temannya yang sudah menikah. Wendy ingin mengajak foto bersama Anggie ke sebuah tempat yang bernama Pulau Surga, pulau di jajaran kepulauan di utara Ibukota Negara yang luasnya hanya 8 petak sawah dan ditumbuhi pohon nyiur dan terdapat benteng tua yang memiliki kesan eksotis. Dijamin, konsep foto yang dikerjakan di tempat itu akan menjadi melendung, sama melendungnya dengan cita-cita Wendy dan Anggie.
“Nggie, rencana aku mau ajak kamu foto di pulau Surga, ntar kita foto diurus sendiri aja. Kita bawa tripod sama kamera, itu cukup kok Nggie.”
“Ah, kamu ini, emang beda dari yang lain. Yang aku kenal kamu ini suka yang aneh-aneh dan suka ngelamun sendiri kalau di rumah tu… pas lamaran aku aja kamu banyak diemnya, tapi kamu yang kayak gitu udah buat aku nyaman dari apa yang kamu kerjain, seenggaknya cowokku ini emang beda. Aku suka konsep kamu yang tadi, Wen.”
”Haha, emang aku gimana? Aneh gitu? Tapi emang aku rasa akan lebih berkesan kalo gitu, Nggie.”
“Enggak, aku suka kok cara kamu yang beda itu. Terus, kapan kita berangkatnya ke sana buat foto bareng?”
“Besok sabtu aja pas weekend, kan, waktu kita banyak sebenernya, Cuma aku ngerasa aja kalau Sabtu besok itu hari yang paling baik. Kita berangkat naik kereta ke stasiun pelabuhan, ntar kita ganti naik perahu omprengan ke sana. Paling, 50 ribu aja kurang lah Nggie.”
“Oke deh, Setuju sama kamu!”
***
Sabtu yang melendung itu telah tiba. Mereka hendak berangkat bersama dari stasiun paling selatan di kawasan kota itu menuju stasiun pelabuhan. Lima puluh enam menit mereka menempuh perjalanan dengan kereta. Nantinya, dilanjutkan dengan naik perahun selama dua jam. Hitung saja normalnya. Dua jam sama dengan seratus dua puluh menit. Ditambah dengan Lima puluh enam menit menjadi seratus tujuh puluh enam menit untuk menuju ke sebuah tempat yang dinamakan pulau surga itu. Wendy memilih cara itu karena Wendy suka menikmati suasana yang demikian karena bahan obrolan menjadi banyak selama perjalanan. Wendy, seorang seniman, muda dan cita-citanya melendung.
“Eh, Wen, emang di pulau itu pemandangannya gimana sih? Kok kayaknya kamu seneng banget pilih tempat itu, kayak jadi semangat, gak kayak biasanya kamu suka ngelamun.”
“Iya, kan kita mau foto. Fotonya di tempat yang bagus lagi.”
“Yaelah, Cuma foto doang, kamu bisa sesemangat itu?”
“ Iya Nggie, soalnya foto yang kita buat nanti gak sembarang foto. Foto itu mungkin bisa jadi blur atau mungkin gak ada gambar kita sama sekali.”
“Maksud kamu?”
“Ahh, enggak, kita pasti bisa foto di sana!” Wendy pun menyeloroh. Otaknya melendung-mengempis memikirkan bagaimana nantinya ketika berfoto. Atau dia sedang memikirkan hal-hal yang tidak bisa dipikirkan Anggie. Anggie hanya pasif karena sangat mencintai Wendy, atau istilah lainnya, Anggie sangat melendung perasaannya kepada Wendy. Anggie merasa dia harus berproses untuk bisa jalan pemikiran Wendy yang unik dan memicu untuk dikenal dan dicintai. Layaknya iman dalam keagamaan, jalan pemikiran Wendy merupakan sebuah Paradoks.
Mereka telah berada di dalam kereta menuju stasiun pelabuhan. Saat ini menit ke 40, artinya masih ada 136 menit lagi untuk sampai ke pulau surga dengan kecepatan rata-rata yang normal. Mereka masih berdiskusi tentang konsep acara pernikahannya.
Tiba-tiba, kereta berhenti di stasiun kota tengah. Stasiun yang cukup padat dan ramai oleh orang yang beraktivitas. Waktu berhentinya cukup lama karena cukup ada gangguan atau pun masalah dalam persinyalan kereta api. Tetapi buat Wendy dan Anggie, mereka tetap tak acuh dengan situasi dan kondisi tersebut. Yang mereka pikirkan, hanyalah foto-foto yang akan mereka hasilkan pasti melendung. Mereka tetap mendiskusikan bagaimana hasil fotonya nanti ketika mereka telah melihat lansekap pulau Surga yang mungkin melendung.
Tetapi, seiring dengan lama berhenti kereta, Wendy kunjung bosan dengan lama berhentinya kereta tersebut. Artinya Wendy yang selama ini dikenal kalem dan cool menjadi gelisah dan mencak-mencak karena lamanya kereta itu berhenti. Kereta berhenti hampir 40 menit, estimasi waktu yang diperkirakan 176 menit menjadi berubah drastis. Dalam kondisi yang mulai membosankan ini, Wendy mulai berani mengumpat dengan keras.
“Aaaaaahhhh, Anjiiiiiinnggg, nih kreta lama banget sih?”
***
Setelah mengumpat, kereta itu kembali berjalan pelan-pelan. Anggie mendengarkan umpatan Wendy dan menjadi gemetar keheranan karena sikapnya yang mulai berubah. Anggie pun hanya membuang muka ke samping, tak mau melihat gelagat Wendy saat itu. Kereta kembali berjalan dan membuat mereka sedikit bernafas lega karena pengapnya udara gerbong mulai terasa ada angin melintasi mereka. Wendy hanya merengut, melihat kaca jendela kereta yang disuguhkan pemandangan pemukiman kumuh yang melendung.
“Wen, kenapa kamu tadi marah-marah sendiri? Kamu gak kalem lagi yah?” Anggie menyeloroh Wendy dengan nada yang sedikit meningkat menantang karena keheranannya.
“Ah, kamu gak tahu, apa yang bakal jadi peristiwa nantinya. Aku Kesal!”
“Ya udah, gak usah sampe marah-marah gitu kenapa? Orang-orang liat jadi gak enak, kan?”
Anggie menjelaskan situasi tadi yang sebenarnya cukup memalukan di depan banyak penumpang lain.
Setelah pembicaraan mereka berdua usai, kereta mulai meningkat kecepatannya.
***
Orang-orang berkerumun di pinggir rel sambil melihat menyeruak heran. Bangkai kereta empat gerbong terguling di dekat bantaran muara sungai yang penuh sampah. Nampaknya kereta telah terguling anjlok dari rel dan badan kereta menimpa rumah-rumah penduduk sekitar. Persambungan kereta nampak ada yang melendung ke atas dan menghimpit beberapa penumpang yang telah menjadi korban jiwa. Para korban jiwa pun di kumpulkan dan diperiksa identitasnya.
Tampaklah dua pasang orang tua yang terkesan sangat kaya datang memeriksa identitas korban. Mereka datang karena mereka pernah mendapat ijin dari anak-anaknya dengan menaiki kereta. Nyata, dua korban jiwa dengan wajah yang remuk, tak terlihat melendung lagi, namun kartu identitasnya menunjukkana nama yang melendungkan jantung mereka.
“KTP atas nama Wendy Suryo, usia 27 Tahun, asal Jakarta. Silahkan bagi yang mencari nama korban tersebut mengurus di bagian forensik. Yang kedua, Anggita Cahyani, asal Jakarta, Usia 24 Tahun…. “
Suara kepala bidang bagian forensik menyeruak melendungkan hati kedua pasangan orangtua yang sebenarnya telah menyepakati pernikahan kedua anaknya. Mereka tertunduk lesu melihat kedua wajah anaknya yang menjadi blur, persis seperti apa yang dikatakan Wendy kalau fotonya memang barangkali menjadi demikian.
***
Janur Kuning memang dibuat melendung, karena itu adalah simbol cita-cita pengantin. Pengantin akan memulai melengkapi kebahagiaannya dengan proses yang melendung atau mereka menjalani rangkaian urutan peristiwa yang sampai pada tahap melendung. Janur Kuning kini berdiri di depan rumah duka, Janur Kuning kini dibubuhi dengan bendera kuning. Janur Kuning, simbol kebahagiaan, dan kini kebahagiaan itu mungkip menjadi kekal karena Janur Kuning telah membukakan pintu terang di atas dunia ini. Janur Kuning menjadi sahabat untuk bendera kuning.
Jakarta, 16 Agustus 2011
Permenungan
Rabu, 13 Juli 2011
Sajak Pengakuan
Kutulis sajak ini di saat aku tak mampu berkata-kata akan kotoran kecap yang mengotori baju putihku.
Walah, bukan hanya kecap saja!
Ada juga yang lainnya seperti saus sambal.
Kecap dan saus sambal warnanya hitam dan merah. Aku tak punya baju lain selain baju putihku sendiri. Aku menyesal, sungguh menyesal, hanya karena noda makanan saja, aku bisa mengubah warna baju putihku menjadi merah dan hitam.
Merah
Hitam
Merah
Hitam
Merah
Hitam Hitam
Merah
Hitam
Merah
Hitam
dan Merah! Ah, warna nodanya sungguh tidak menarik. Noda bukanlah warna sablon untuk kaos kesayanganku ini.
Makanan memang sumber energi tubuh. Tetapi energi itu penuh noda.
Nodanya menggelinjang ketika hendak disantap dan bergejolak mengitari perutku. Atau ketika noda itu dengan sengaja kutempelkan pada baju putihku! Aku bahkan tidak sadar!
Hei, kau tukang masak!
Sudah kubilang.....
Jangan ditambahkan Kecap! ataupun sambal!
Mereka hanya akan mengotori baju putih kesayanganku ini....
Depok, 15 April 2011
Walah, bukan hanya kecap saja!
Ada juga yang lainnya seperti saus sambal.
Kecap dan saus sambal warnanya hitam dan merah. Aku tak punya baju lain selain baju putihku sendiri. Aku menyesal, sungguh menyesal, hanya karena noda makanan saja, aku bisa mengubah warna baju putihku menjadi merah dan hitam.
Merah
Hitam
Merah
Hitam
Merah
Hitam Hitam
Merah
Hitam
Merah
Hitam
dan Merah! Ah, warna nodanya sungguh tidak menarik. Noda bukanlah warna sablon untuk kaos kesayanganku ini.
Makanan memang sumber energi tubuh. Tetapi energi itu penuh noda.
Nodanya menggelinjang ketika hendak disantap dan bergejolak mengitari perutku. Atau ketika noda itu dengan sengaja kutempelkan pada baju putihku! Aku bahkan tidak sadar!
Hei, kau tukang masak!
Sudah kubilang.....
Jangan ditambahkan Kecap! ataupun sambal!
Mereka hanya akan mengotori baju putih kesayanganku ini....
Depok, 15 April 2011
Siapa Yang Lebih Berkontribusi? (Sajak Ruangan)
"Saudara-saudara, nanti tugas tentang Penyelamatan Lingkungan dikumpulkan lewat forum diskusi kelas di situs resmi kampus ya, jangan lupa, paling lambat 2 minggu setelah pengumuman ini!"
Dinamika kelas yang hidup dengan mahasiswa yang aktif. Kritis, cerdas, dan sangat membanggakan.
Materi perkuliahannya seputar penyelamatan lingkungan, dan penanaman paradigma akan cinta lingkungan hidup.
Dinamika mereka dibungkus oleh ruang kelas yang dingin oleh pendingin ruangan.
Tugas mereka pun diantarkan oleh jaringan maya yang membutuhkan tenaga listrik yang cukup besar.
Paradigma mereka pun masih seperti manusia lain, belum sadar akan perbuatan meskipun kritis pemikirannya.
Mereka mengerjakan tugas-tugas di saat malam hari dengan memaksa personal computernya beroperasi hingga larut malam.
Dan mereka pun lepas dari kampus....
Mereka bekerja pada lembaga yang besar dengan gedung yang megah.
Gedung-gedung kerja dilengkapi dengan pendingin ruangan yang membungkus seluruh ruangan kerja.
Tajuk?
"Mbak, tolong siapkan perahunya, nanti bapak yang jalan saja."
Seorang tua yang miskin dan tak mengenyam pendidikan tentang cinta lingkungan hendak berangkat ke sungai besar.
Tujuannya untuk mengambil sampah-sampah plastik.
Sampah-sampah itu diambil dan dikumpulkan untuk dijadikan bahan baku pembuatan tas belanja.
Bukan hanya itu, sampah-sampah itu diproses ulang untuk dijadikan tudung saji, corong botol, dan benda-benda plastik sedrhana lainnya.
Anaknya juga ikut untuk mengambil enceng gondok di sepanjang bantaran sungai.
Enceng gondok ini juga dijadikan serat-serat untuk membuat kerajinan tas.
Kedua pasang tangan yang cekatan untuk bekerja.
Aksi?
Seandainya Bumi adalah seorang Ibu, dia akan merangkul seorang tua ini dan anaknya.
Ketika itu, intelektual telah dikalahkan oleh kearifan lokal....
Depok, 14 Mei 2011
Dinamika kelas yang hidup dengan mahasiswa yang aktif. Kritis, cerdas, dan sangat membanggakan.
Materi perkuliahannya seputar penyelamatan lingkungan, dan penanaman paradigma akan cinta lingkungan hidup.
Dinamika mereka dibungkus oleh ruang kelas yang dingin oleh pendingin ruangan.
Tugas mereka pun diantarkan oleh jaringan maya yang membutuhkan tenaga listrik yang cukup besar.
Paradigma mereka pun masih seperti manusia lain, belum sadar akan perbuatan meskipun kritis pemikirannya.
Mereka mengerjakan tugas-tugas di saat malam hari dengan memaksa personal computernya beroperasi hingga larut malam.
Dan mereka pun lepas dari kampus....
Mereka bekerja pada lembaga yang besar dengan gedung yang megah.
Gedung-gedung kerja dilengkapi dengan pendingin ruangan yang membungkus seluruh ruangan kerja.
Tajuk?
"Mbak, tolong siapkan perahunya, nanti bapak yang jalan saja."
Seorang tua yang miskin dan tak mengenyam pendidikan tentang cinta lingkungan hendak berangkat ke sungai besar.
Tujuannya untuk mengambil sampah-sampah plastik.
Sampah-sampah itu diambil dan dikumpulkan untuk dijadikan bahan baku pembuatan tas belanja.
Bukan hanya itu, sampah-sampah itu diproses ulang untuk dijadikan tudung saji, corong botol, dan benda-benda plastik sedrhana lainnya.
Anaknya juga ikut untuk mengambil enceng gondok di sepanjang bantaran sungai.
Enceng gondok ini juga dijadikan serat-serat untuk membuat kerajinan tas.
Kedua pasang tangan yang cekatan untuk bekerja.
Aksi?
Seandainya Bumi adalah seorang Ibu, dia akan merangkul seorang tua ini dan anaknya.
Ketika itu, intelektual telah dikalahkan oleh kearifan lokal....
Depok, 14 Mei 2011
Langganan:
Postingan (Atom)