Bendera putih berkibar lemah di papan nama gang Semeru. Aku merasakan irama doa yang khusyuk mendoakan kematian seorang wanita muda berusia 23 tahun. Aku merasakan betapa dalamnya duka keluarga wanita muda itu. Nama wanita itu Katarina Supini. Dia adalah wanita yang kukenal sangat baik perangainya juga supel orangnya.
Aku masuk ke dalam gang Semeru dan langsung menuju rumah tempat jenazah Katarina disemayamkan. Kemudian aku merasakan irama doa requiem yang menusuk-nusuk hati. Doa itu terngiang di telingaku dan menjadikan hatiku tersayat. Aku memang mengenal baik Katarina. Dia sahabatku ketika mengikuti paduan suara gereja bersama.
Aku melepaskan sepatuku di luar rumah duka dan berbaris menuju ke dalam ruang tamu. Disitulah peti jenazah diletakkan. Di depan peti terpampang salib, lilin, dan foto Katarina yang memiliki paras yang manis.
Jantungku berdegup dengan kencang ketika hendak melihat jenazah Katarina. Aku merinding. Mendadak aku terdiam menganga hingga air mataku jatuh ke dalam peti. Aku melihatnya dengan perasaan sakit yang awet hinggap di hatiku. Kedukaanku begitu mendalam. Dengan spontan aku menyingsingkan lengan baju hitamku dan mulai membelai rambut jenazah Katarina. Aku menangis di atas jenazah. Seketika itu juga ingatanku melayang.
Aku teringat akan beberapa jam yang lalu. Aku dan Katarina adalah dua sahabat yang sering meluangkan waktu untuk curhat, cerita-cerita ngalor ngidul. Kami bisa akrab karena kami bersama-sama mengikuti paduan suara gereja Cantus Gloria.
Aku teringat akan jam-jam ketika Katarina masih bernafas. Urutan kejadian ini masuk ke dalam memoriku. Ketika itu kami berlatih paduan suara di gedung aula Pastoran. Ketika itu hari Jumat siang. Hari Jumat yang menyejukkan hatiku karena suara Katarina melengking indah. Dia mungkin bisa menguasai tujuh oktaf tingkat nada. Hari mulai sore dan kami sejenak beristirahat.
“Ton, kamu masih ngajar di PL? aku kangen loh sama anak-anak disana.” Katarina mengajakku mengobrol santai sambil mengisi waktu.
“Iya, aku masih ngajar disana tiap hari Sabtu. Emang suasananya asik yah.”
“Iya ton, anak-anaknya nggemesin deh. Mereka dilatih suaranya dan itu masih ranum banget. Itu yang bikin aku semangat ngajar disana!’
“Lha, emang kenapa kamu gak pernah muncul lagi rin?”
“Anu…, aku nggak muncul lagi soalnya aku udah dipecat sama kepala sekolah disana. Aku dipecat soalnya aku dianggap meresahkan anak-anak sekolah. Yah, kamu tau kan Ton? Aku ini pengidap.”
“Ihh… pengidap apaan? Kamu gak pernah cerita lho!”
“Ya ampun! Bukannya aku pernah cerita? Kamu tahu kan aku punya penyakit?”
“Penyakit apa? Kamu gak pernah bilang.”
“Jangan berlagak gak ngerti deh, aku pernah ngomong pas kita lagi makan bakso bareng.”
“Apa itu?”
“Guuussstiiiii, jadi orang kok lalen to kowe ki?”
“opo toh?”
Katarina langsung menepuk perutku yang membal itu sambil membisikkan lirih apa maksud dia. “Iyooo, aku ki nduwe penyakit AIDS!”
“Gusti! Jadi itu beneran? Tak kira kamu tuh bercanda!” Aku menimpalinya dengan berlagak untuk mengalihkan pikiranku yang sebenarnya tahu banyak hal tentang dia.
“Iyoo, gustiiii…. Nasibku kok koyo ngene. Setiap minggu harus vaksin salvarzan untuk imunitasku. Kalau enggak aku terancam mati. Padahal harga vaksin itu sekalinya 1 juta setengah!”
“Lha? Kalo itu sih Rin… aku bisa bantu. Tapi yang bikin aku heran itu kok bisa-bisanya kamu dipecat?”
“Ya, tahu sendirilah! AIDS itu nular Ton. Aku dipecat karena aku dianggap sebagai manusia berbahaya, yang mengancam kesehatan semuanya. Aku disuruh masuk panti rehab. Tapi aku gak mau! Sekalinya aku hidup, aku gak mau ke panti rehab!”
Begitulah Katarina menceritakan kisah sedihnya karena dia terkena penyakit aneh itu. Katarina begitu semangat untuk hidup sampai-sampai dia tidak mau dibawa ke panti rehab. Aku salut sama dia. Dia wanita tegar. Dasar pengen tahu, aku mau ngulik kenapa dia bisa kena AIDS.
Tanpa ragu-ragu dan berlagak sok jadi kakak, aku bertanya demikian, “yang bikin kamu AIDS itu siapa toh?”
Katarina tampak malas menjawab.
Aku langsung saja nyecer dia, “kamu cerita aja deh! Gak mungkin aku sebarin ke temen-temen. Lagian yang tahu kamu kena penyakit itu bukannya cuma aku?”
“Ton, kalau aku kasih tahu kamu, janji gak akan bilang siapa-siapa ya?”
“Siiippp, santai aja lah mbakyu!”
“Ton, aku ini manusia dengan dua muka. Aku ini kena penyakit ini karena aku ngeple. Aku ngeple karena aku harus lanjut kuliah. Kenapa aku ngeple? Ya karena badanku yang semok ini. Laki-laki buncit banyak yang langganan sama aku. Sampai pas itu gak sadar, aku ikut-ikutan nyuntik Feromine biar rasanya ngefly. Tapi ya gitu, ujung-ujungnya aku batuk darah dan dokter bilang aku positif AIDS.”
“Lha kenapa toh sama orang tua kamu? Kamu gak ambil beasiswa?”
“Ya, orang tua gak ada penghasilan tetap. Beasiswa kan harus ada persyaratan lengkap. Kami bukan warga negara yang baik. Semua data kependudukan itu udah lama dan masa berlakunya habis. Kalo mau bikin lagi ya bakal duitnya banyak. Aku juga kesel sama orang tuaku sendiri. Mereka kayak gak mau ngelawan tantangan hidup. Aku dianggap bajingan karena perilakuku! Orang tuaku udah buta, gak mau kenal lagi!”
Aku akhirnya tahu bagaimana kisah dia hidup dengan bebannya. Aku tahu bagaimana dia berjuang demi uang kuliahnya. Menjadi jalang demi uang kuliah mungkin juga dilakukan oleh segelintir orang yang biasa disebut dengan ayam kampus. Tapi, aku salut karena dia masih ingat Tuhan. Dia masih nyanyi di gereja bareng paduan suara.
Istirahat paduan suara pun berakhir. Kami masuk kembali ke dalam aula pastoran. Romo pembimbing pun mem-briefing kami untuk koor. Setelah briefing selesai, kami langsung pulang. Sebelum aku menunggangi motorku, Katarina memanggilku.
“Ton, aku mau ngasih ini buat kamu!” dia kemudian menyodorkan boneka sulaman buatan sendiri. “Jangan sampe ilang ya, jiwaku ada di boneka itu. Kalo aku mati, aku bisa hadir si boneka itu!”
“Hussss…. Kowe ki nek ngomong mbok ngiro-ngiro. Jangan bilang gitu!”
“Hehehe, tapi diterima aja yaa, aku buat itu emang untuk sahabatku yang paling ngerti aku.”
“Tak bawa nih?”
“Iyaaaa, bawa aja! Uhuuuk….uhuuuuk…..uggghhh!”
“ Lho, kamu batuk darah lagi! Ayo pulang aja sama aku. Tak ajak makan dulu!”
“Nggak usah ton, aku bawa motor kok!”
“Kalo makan bareng aja gimana? Ayo tak traktir di warung Babah Liem. Makan yang anget-anget.”
“Oke deh, aku tapi ngintil kamu ya!”
Kami makan di tempat itu. Suasana begitu hangat saat dia menatap mataku. Dia mengatakan bahwa tak ada sahabat yang lebih baik daripada aku, Antonius Wiryawan Sarjono. Dia bahkan mengatakan kalau dia cinta aku.
“Ton, aku Cuma punya kamu yang mau ngerti aku. Aku sayaaaang sama kamu!”
“Rin, aku juga sayang sama kamu. Tapi tahu toh? Aku punya Randini. Aku Cuma sekadar jadi temen ngobrol aja.”
“Aku tahu itu. Tapi naluri jalangku mati kalo liat kamu! Semua laki-laki yang kulihat biasanya memunculkan naluri jalangku!”
“Iyaaa, aku cuma mau ngerti kamu. Kasihan hidupmu!”
“Ton, jangan bilang Randini, pacarmu itu ya! Uhuuuk…uhuuuuk…hoeeekkk!”
Kulihat Katarina muntah darah. Imunitasnya sudah turun. Aku suruh dia buru-buru pulang untuk beristirahat. Aku antarkan dengan cara beriringan naik motor. Kemudian aku pulang. Aku tiba di rumah dan langsung menggeletakan badanku yang lumayan capek ini. Aku membayangkan, betapa sulit hidup si Katarina.
Randini memang ada di Bali. Setidaknya dia tidak tahu kalau aku memperhatikan Katarina layaknya seorang pacar sendiri. Tak sadar, aku tertidur di sofa hingga esok paginya. Dan keesokan paginya ada sms di HP ku. SMS itu berisi berita kematian Katarina yang diakibatkan kekurangan cairan karena imunitasnya terganggu.
“Mas, jangan kelamaan disini! Petinya sebentar lagi mau diangkat!” begitulah tegur seorang koster gereja yang ditugaskan membawa peti.
Aku kemudian mundur ke belakang. Aku melihat orang tua Katarina begitu terpukul. Dia memang anak semata wayang. Aku juga melihat teman-teman Katarina yang sepertinya sesama wanita jalang. Mereka melayat dengan pakaian yang masih bisa dibilang sebagai pakaian semlohay.
Aku memutuskan untuk pulang ke rumah dan tidak ikut upacara pemakaman. Aku pulang dengan bayangan wajah Katarina yang terus-terusan muncul di ingatanku. Sampai di rumah aku melihat adikku sedang asyik main PES. Aku masuk kamar. Aku mengambil boneka pemberian Katarina.
Bertiup angin dari jendela dengan sangat sejuknya. Jendela bergoyang-goyang buka tutup. Aku merinding. Sekali lagi aku merinding. Kemudian tampaklah bayangan Katarina di cermin sambil senyum memandangku.
“Ton, doakan aku ya!”
Depok 22 November 2011
A-N-M
Total Tayangan Halaman
Minggu, 25 Desember 2011
Janur kuning
Janur Kuning memang merupakan sebuah tanda yang khas dan identik dengan adat pernikahan. Janur Kuning menjadi sebuah tanda budaya yang banyak diketahui maksudnya. Janur Kuning dibuat melendung, artinya sesuai dengan cita-cita pengantin baru supaya cepat menjadi melendung. Kebahagiaan pengantin baru pasti akan lengkap jika telah terjadi sebuah proses menuju ke bentuk yang melendung. Janur Kuning dibuat melendung, supaya pengantin diharapkan bisa melendung.
Janur Kuning, itu yang sudah terpikirkan dalam benak Wendy dan Anggie. Mereka memang mantap meneruskan hubungan mereka hingga membuat Janur Kuning. Mereka berangan-angan supaya segera melendung sebelum melendung itu dilarang karena banyaknya orang yang terlanjur melendung. Wendy melendungkan Anggie atau Anggie melendungkan Wendy itu urusan nanti, sebab melendung itu banyak sekali bentuk-bentuknya. Yang jelas mereka ingin melendung, entah itu melendung bukan bagian tubuhnya atau bagian tubuhnya yang tengah ataupun bawah. Dalam arti kecil, ada proses yang disebut senggama entah se-nggama, atau dua-nggama, itu terserah mereka.
Wendy lelaki berusia 27 tahun, sebuah usia yang dipenuhi semangat bergelora dalam dunia karirnya. Dia seorang musisi. Anggie wanita berusia 24 tahun, usia matang dan dewasa untuk menjadikan sebuah hubungan cinta hingga mencapai tahap melendung. Wendy yang ingin membuat semua konsep pernikahannya karena dia bisa menanganinya dengan cara yang kreatif dan berbeda dengan konsep pernikahan yang biasa. Istilah lainnya, dia ingin membuat acara pernikahannya lebih melendung dibandingkan dengan konsep acara pernikahan yang lain. Melendung, sebuah kata yang bermakna membulat. Bulat, sebuah bentuk yang tak kan ada habisnya jika dicari simetri putarnya.
Wendy berencana membuat sebuah album foto pra pernikahan yang lebih melendung dibandingkan teman-temannya yang sudah menikah. Wendy ingin mengajak foto bersama Anggie ke sebuah tempat yang bernama Pulau Surga, pulau di jajaran kepulauan di utara Ibukota Negara yang luasnya hanya 8 petak sawah dan ditumbuhi pohon nyiur dan terdapat benteng tua yang memiliki kesan eksotis. Dijamin, konsep foto yang dikerjakan di tempat itu akan menjadi melendung, sama melendungnya dengan cita-cita Wendy dan Anggie.
“Nggie, rencana aku mau ajak kamu foto di pulau Surga, ntar kita foto diurus sendiri aja. Kita bawa tripod sama kamera, itu cukup kok Nggie.”
“Ah, kamu ini, emang beda dari yang lain. Yang aku kenal kamu ini suka yang aneh-aneh dan suka ngelamun sendiri kalau di rumah tu… pas lamaran aku aja kamu banyak diemnya, tapi kamu yang kayak gitu udah buat aku nyaman dari apa yang kamu kerjain, seenggaknya cowokku ini emang beda. Aku suka konsep kamu yang tadi, Wen.”
”Haha, emang aku gimana? Aneh gitu? Tapi emang aku rasa akan lebih berkesan kalo gitu, Nggie.”
“Enggak, aku suka kok cara kamu yang beda itu. Terus, kapan kita berangkatnya ke sana buat foto bareng?”
“Besok sabtu aja pas weekend, kan, waktu kita banyak sebenernya, Cuma aku ngerasa aja kalau Sabtu besok itu hari yang paling baik. Kita berangkat naik kereta ke stasiun pelabuhan, ntar kita ganti naik perahu omprengan ke sana. Paling, 50 ribu aja kurang lah Nggie.”
“Oke deh, Setuju sama kamu!”
***
Sabtu yang melendung itu telah tiba. Mereka hendak berangkat bersama dari stasiun paling selatan di kawasan kota itu menuju stasiun pelabuhan. Lima puluh enam menit mereka menempuh perjalanan dengan kereta. Nantinya, dilanjutkan dengan naik perahun selama dua jam. Hitung saja normalnya. Dua jam sama dengan seratus dua puluh menit. Ditambah dengan Lima puluh enam menit menjadi seratus tujuh puluh enam menit untuk menuju ke sebuah tempat yang dinamakan pulau surga itu. Wendy memilih cara itu karena Wendy suka menikmati suasana yang demikian karena bahan obrolan menjadi banyak selama perjalanan. Wendy, seorang seniman, muda dan cita-citanya melendung.
“Eh, Wen, emang di pulau itu pemandangannya gimana sih? Kok kayaknya kamu seneng banget pilih tempat itu, kayak jadi semangat, gak kayak biasanya kamu suka ngelamun.”
“Iya, kan kita mau foto. Fotonya di tempat yang bagus lagi.”
“Yaelah, Cuma foto doang, kamu bisa sesemangat itu?”
“ Iya Nggie, soalnya foto yang kita buat nanti gak sembarang foto. Foto itu mungkin bisa jadi blur atau mungkin gak ada gambar kita sama sekali.”
“Maksud kamu?”
“Ahh, enggak, kita pasti bisa foto di sana!” Wendy pun menyeloroh. Otaknya melendung-mengempis memikirkan bagaimana nantinya ketika berfoto. Atau dia sedang memikirkan hal-hal yang tidak bisa dipikirkan Anggie. Anggie hanya pasif karena sangat mencintai Wendy, atau istilah lainnya, Anggie sangat melendung perasaannya kepada Wendy. Anggie merasa dia harus berproses untuk bisa jalan pemikiran Wendy yang unik dan memicu untuk dikenal dan dicintai. Layaknya iman dalam keagamaan, jalan pemikiran Wendy merupakan sebuah Paradoks.
Mereka telah berada di dalam kereta menuju stasiun pelabuhan. Saat ini menit ke 40, artinya masih ada 136 menit lagi untuk sampai ke pulau surga dengan kecepatan rata-rata yang normal. Mereka masih berdiskusi tentang konsep acara pernikahannya.
Tiba-tiba, kereta berhenti di stasiun kota tengah. Stasiun yang cukup padat dan ramai oleh orang yang beraktivitas. Waktu berhentinya cukup lama karena cukup ada gangguan atau pun masalah dalam persinyalan kereta api. Tetapi buat Wendy dan Anggie, mereka tetap tak acuh dengan situasi dan kondisi tersebut. Yang mereka pikirkan, hanyalah foto-foto yang akan mereka hasilkan pasti melendung. Mereka tetap mendiskusikan bagaimana hasil fotonya nanti ketika mereka telah melihat lansekap pulau Surga yang mungkin melendung.
Tetapi, seiring dengan lama berhenti kereta, Wendy kunjung bosan dengan lama berhentinya kereta tersebut. Artinya Wendy yang selama ini dikenal kalem dan cool menjadi gelisah dan mencak-mencak karena lamanya kereta itu berhenti. Kereta berhenti hampir 40 menit, estimasi waktu yang diperkirakan 176 menit menjadi berubah drastis. Dalam kondisi yang mulai membosankan ini, Wendy mulai berani mengumpat dengan keras.
“Aaaaaahhhh, Anjiiiiiinnggg, nih kreta lama banget sih?”
***
Setelah mengumpat, kereta itu kembali berjalan pelan-pelan. Anggie mendengarkan umpatan Wendy dan menjadi gemetar keheranan karena sikapnya yang mulai berubah. Anggie pun hanya membuang muka ke samping, tak mau melihat gelagat Wendy saat itu. Kereta kembali berjalan dan membuat mereka sedikit bernafas lega karena pengapnya udara gerbong mulai terasa ada angin melintasi mereka. Wendy hanya merengut, melihat kaca jendela kereta yang disuguhkan pemandangan pemukiman kumuh yang melendung.
“Wen, kenapa kamu tadi marah-marah sendiri? Kamu gak kalem lagi yah?” Anggie menyeloroh Wendy dengan nada yang sedikit meningkat menantang karena keheranannya.
“Ah, kamu gak tahu, apa yang bakal jadi peristiwa nantinya. Aku Kesal!”
“Ya udah, gak usah sampe marah-marah gitu kenapa? Orang-orang liat jadi gak enak, kan?”
Anggie menjelaskan situasi tadi yang sebenarnya cukup memalukan di depan banyak penumpang lain.
Setelah pembicaraan mereka berdua usai, kereta mulai meningkat kecepatannya.
***
Orang-orang berkerumun di pinggir rel sambil melihat menyeruak heran. Bangkai kereta empat gerbong terguling di dekat bantaran muara sungai yang penuh sampah. Nampaknya kereta telah terguling anjlok dari rel dan badan kereta menimpa rumah-rumah penduduk sekitar. Persambungan kereta nampak ada yang melendung ke atas dan menghimpit beberapa penumpang yang telah menjadi korban jiwa. Para korban jiwa pun di kumpulkan dan diperiksa identitasnya.
Tampaklah dua pasang orang tua yang terkesan sangat kaya datang memeriksa identitas korban. Mereka datang karena mereka pernah mendapat ijin dari anak-anaknya dengan menaiki kereta. Nyata, dua korban jiwa dengan wajah yang remuk, tak terlihat melendung lagi, namun kartu identitasnya menunjukkana nama yang melendungkan jantung mereka.
“KTP atas nama Wendy Suryo, usia 27 Tahun, asal Jakarta. Silahkan bagi yang mencari nama korban tersebut mengurus di bagian forensik. Yang kedua, Anggita Cahyani, asal Jakarta, Usia 24 Tahun…. “
Suara kepala bidang bagian forensik menyeruak melendungkan hati kedua pasangan orangtua yang sebenarnya telah menyepakati pernikahan kedua anaknya. Mereka tertunduk lesu melihat kedua wajah anaknya yang menjadi blur, persis seperti apa yang dikatakan Wendy kalau fotonya memang barangkali menjadi demikian.
***
Janur Kuning memang dibuat melendung, karena itu adalah simbol cita-cita pengantin. Pengantin akan memulai melengkapi kebahagiaannya dengan proses yang melendung atau mereka menjalani rangkaian urutan peristiwa yang sampai pada tahap melendung. Janur Kuning kini berdiri di depan rumah duka, Janur Kuning kini dibubuhi dengan bendera kuning. Janur Kuning, simbol kebahagiaan, dan kini kebahagiaan itu mungkip menjadi kekal karena Janur Kuning telah membukakan pintu terang di atas dunia ini. Janur Kuning menjadi sahabat untuk bendera kuning.
Jakarta, 16 Agustus 2011
Permenungan
Janur Kuning, itu yang sudah terpikirkan dalam benak Wendy dan Anggie. Mereka memang mantap meneruskan hubungan mereka hingga membuat Janur Kuning. Mereka berangan-angan supaya segera melendung sebelum melendung itu dilarang karena banyaknya orang yang terlanjur melendung. Wendy melendungkan Anggie atau Anggie melendungkan Wendy itu urusan nanti, sebab melendung itu banyak sekali bentuk-bentuknya. Yang jelas mereka ingin melendung, entah itu melendung bukan bagian tubuhnya atau bagian tubuhnya yang tengah ataupun bawah. Dalam arti kecil, ada proses yang disebut senggama entah se-nggama, atau dua-nggama, itu terserah mereka.
Wendy lelaki berusia 27 tahun, sebuah usia yang dipenuhi semangat bergelora dalam dunia karirnya. Dia seorang musisi. Anggie wanita berusia 24 tahun, usia matang dan dewasa untuk menjadikan sebuah hubungan cinta hingga mencapai tahap melendung. Wendy yang ingin membuat semua konsep pernikahannya karena dia bisa menanganinya dengan cara yang kreatif dan berbeda dengan konsep pernikahan yang biasa. Istilah lainnya, dia ingin membuat acara pernikahannya lebih melendung dibandingkan dengan konsep acara pernikahan yang lain. Melendung, sebuah kata yang bermakna membulat. Bulat, sebuah bentuk yang tak kan ada habisnya jika dicari simetri putarnya.
Wendy berencana membuat sebuah album foto pra pernikahan yang lebih melendung dibandingkan teman-temannya yang sudah menikah. Wendy ingin mengajak foto bersama Anggie ke sebuah tempat yang bernama Pulau Surga, pulau di jajaran kepulauan di utara Ibukota Negara yang luasnya hanya 8 petak sawah dan ditumbuhi pohon nyiur dan terdapat benteng tua yang memiliki kesan eksotis. Dijamin, konsep foto yang dikerjakan di tempat itu akan menjadi melendung, sama melendungnya dengan cita-cita Wendy dan Anggie.
“Nggie, rencana aku mau ajak kamu foto di pulau Surga, ntar kita foto diurus sendiri aja. Kita bawa tripod sama kamera, itu cukup kok Nggie.”
“Ah, kamu ini, emang beda dari yang lain. Yang aku kenal kamu ini suka yang aneh-aneh dan suka ngelamun sendiri kalau di rumah tu… pas lamaran aku aja kamu banyak diemnya, tapi kamu yang kayak gitu udah buat aku nyaman dari apa yang kamu kerjain, seenggaknya cowokku ini emang beda. Aku suka konsep kamu yang tadi, Wen.”
”Haha, emang aku gimana? Aneh gitu? Tapi emang aku rasa akan lebih berkesan kalo gitu, Nggie.”
“Enggak, aku suka kok cara kamu yang beda itu. Terus, kapan kita berangkatnya ke sana buat foto bareng?”
“Besok sabtu aja pas weekend, kan, waktu kita banyak sebenernya, Cuma aku ngerasa aja kalau Sabtu besok itu hari yang paling baik. Kita berangkat naik kereta ke stasiun pelabuhan, ntar kita ganti naik perahu omprengan ke sana. Paling, 50 ribu aja kurang lah Nggie.”
“Oke deh, Setuju sama kamu!”
***
Sabtu yang melendung itu telah tiba. Mereka hendak berangkat bersama dari stasiun paling selatan di kawasan kota itu menuju stasiun pelabuhan. Lima puluh enam menit mereka menempuh perjalanan dengan kereta. Nantinya, dilanjutkan dengan naik perahun selama dua jam. Hitung saja normalnya. Dua jam sama dengan seratus dua puluh menit. Ditambah dengan Lima puluh enam menit menjadi seratus tujuh puluh enam menit untuk menuju ke sebuah tempat yang dinamakan pulau surga itu. Wendy memilih cara itu karena Wendy suka menikmati suasana yang demikian karena bahan obrolan menjadi banyak selama perjalanan. Wendy, seorang seniman, muda dan cita-citanya melendung.
“Eh, Wen, emang di pulau itu pemandangannya gimana sih? Kok kayaknya kamu seneng banget pilih tempat itu, kayak jadi semangat, gak kayak biasanya kamu suka ngelamun.”
“Iya, kan kita mau foto. Fotonya di tempat yang bagus lagi.”
“Yaelah, Cuma foto doang, kamu bisa sesemangat itu?”
“ Iya Nggie, soalnya foto yang kita buat nanti gak sembarang foto. Foto itu mungkin bisa jadi blur atau mungkin gak ada gambar kita sama sekali.”
“Maksud kamu?”
“Ahh, enggak, kita pasti bisa foto di sana!” Wendy pun menyeloroh. Otaknya melendung-mengempis memikirkan bagaimana nantinya ketika berfoto. Atau dia sedang memikirkan hal-hal yang tidak bisa dipikirkan Anggie. Anggie hanya pasif karena sangat mencintai Wendy, atau istilah lainnya, Anggie sangat melendung perasaannya kepada Wendy. Anggie merasa dia harus berproses untuk bisa jalan pemikiran Wendy yang unik dan memicu untuk dikenal dan dicintai. Layaknya iman dalam keagamaan, jalan pemikiran Wendy merupakan sebuah Paradoks.
Mereka telah berada di dalam kereta menuju stasiun pelabuhan. Saat ini menit ke 40, artinya masih ada 136 menit lagi untuk sampai ke pulau surga dengan kecepatan rata-rata yang normal. Mereka masih berdiskusi tentang konsep acara pernikahannya.
Tiba-tiba, kereta berhenti di stasiun kota tengah. Stasiun yang cukup padat dan ramai oleh orang yang beraktivitas. Waktu berhentinya cukup lama karena cukup ada gangguan atau pun masalah dalam persinyalan kereta api. Tetapi buat Wendy dan Anggie, mereka tetap tak acuh dengan situasi dan kondisi tersebut. Yang mereka pikirkan, hanyalah foto-foto yang akan mereka hasilkan pasti melendung. Mereka tetap mendiskusikan bagaimana hasil fotonya nanti ketika mereka telah melihat lansekap pulau Surga yang mungkin melendung.
Tetapi, seiring dengan lama berhenti kereta, Wendy kunjung bosan dengan lama berhentinya kereta tersebut. Artinya Wendy yang selama ini dikenal kalem dan cool menjadi gelisah dan mencak-mencak karena lamanya kereta itu berhenti. Kereta berhenti hampir 40 menit, estimasi waktu yang diperkirakan 176 menit menjadi berubah drastis. Dalam kondisi yang mulai membosankan ini, Wendy mulai berani mengumpat dengan keras.
“Aaaaaahhhh, Anjiiiiiinnggg, nih kreta lama banget sih?”
***
Setelah mengumpat, kereta itu kembali berjalan pelan-pelan. Anggie mendengarkan umpatan Wendy dan menjadi gemetar keheranan karena sikapnya yang mulai berubah. Anggie pun hanya membuang muka ke samping, tak mau melihat gelagat Wendy saat itu. Kereta kembali berjalan dan membuat mereka sedikit bernafas lega karena pengapnya udara gerbong mulai terasa ada angin melintasi mereka. Wendy hanya merengut, melihat kaca jendela kereta yang disuguhkan pemandangan pemukiman kumuh yang melendung.
“Wen, kenapa kamu tadi marah-marah sendiri? Kamu gak kalem lagi yah?” Anggie menyeloroh Wendy dengan nada yang sedikit meningkat menantang karena keheranannya.
“Ah, kamu gak tahu, apa yang bakal jadi peristiwa nantinya. Aku Kesal!”
“Ya udah, gak usah sampe marah-marah gitu kenapa? Orang-orang liat jadi gak enak, kan?”
Anggie menjelaskan situasi tadi yang sebenarnya cukup memalukan di depan banyak penumpang lain.
Setelah pembicaraan mereka berdua usai, kereta mulai meningkat kecepatannya.
***
Orang-orang berkerumun di pinggir rel sambil melihat menyeruak heran. Bangkai kereta empat gerbong terguling di dekat bantaran muara sungai yang penuh sampah. Nampaknya kereta telah terguling anjlok dari rel dan badan kereta menimpa rumah-rumah penduduk sekitar. Persambungan kereta nampak ada yang melendung ke atas dan menghimpit beberapa penumpang yang telah menjadi korban jiwa. Para korban jiwa pun di kumpulkan dan diperiksa identitasnya.
Tampaklah dua pasang orang tua yang terkesan sangat kaya datang memeriksa identitas korban. Mereka datang karena mereka pernah mendapat ijin dari anak-anaknya dengan menaiki kereta. Nyata, dua korban jiwa dengan wajah yang remuk, tak terlihat melendung lagi, namun kartu identitasnya menunjukkana nama yang melendungkan jantung mereka.
“KTP atas nama Wendy Suryo, usia 27 Tahun, asal Jakarta. Silahkan bagi yang mencari nama korban tersebut mengurus di bagian forensik. Yang kedua, Anggita Cahyani, asal Jakarta, Usia 24 Tahun…. “
Suara kepala bidang bagian forensik menyeruak melendungkan hati kedua pasangan orangtua yang sebenarnya telah menyepakati pernikahan kedua anaknya. Mereka tertunduk lesu melihat kedua wajah anaknya yang menjadi blur, persis seperti apa yang dikatakan Wendy kalau fotonya memang barangkali menjadi demikian.
***
Janur Kuning memang dibuat melendung, karena itu adalah simbol cita-cita pengantin. Pengantin akan memulai melengkapi kebahagiaannya dengan proses yang melendung atau mereka menjalani rangkaian urutan peristiwa yang sampai pada tahap melendung. Janur Kuning kini berdiri di depan rumah duka, Janur Kuning kini dibubuhi dengan bendera kuning. Janur Kuning, simbol kebahagiaan, dan kini kebahagiaan itu mungkip menjadi kekal karena Janur Kuning telah membukakan pintu terang di atas dunia ini. Janur Kuning menjadi sahabat untuk bendera kuning.
Jakarta, 16 Agustus 2011
Permenungan
Rabu, 13 Juli 2011
Sajak Pengakuan
Kutulis sajak ini di saat aku tak mampu berkata-kata akan kotoran kecap yang mengotori baju putihku.
Walah, bukan hanya kecap saja!
Ada juga yang lainnya seperti saus sambal.
Kecap dan saus sambal warnanya hitam dan merah. Aku tak punya baju lain selain baju putihku sendiri. Aku menyesal, sungguh menyesal, hanya karena noda makanan saja, aku bisa mengubah warna baju putihku menjadi merah dan hitam.
Merah
Hitam
Merah
Hitam
Merah
Hitam Hitam
Merah
Hitam
Merah
Hitam
dan Merah! Ah, warna nodanya sungguh tidak menarik. Noda bukanlah warna sablon untuk kaos kesayanganku ini.
Makanan memang sumber energi tubuh. Tetapi energi itu penuh noda.
Nodanya menggelinjang ketika hendak disantap dan bergejolak mengitari perutku. Atau ketika noda itu dengan sengaja kutempelkan pada baju putihku! Aku bahkan tidak sadar!
Hei, kau tukang masak!
Sudah kubilang.....
Jangan ditambahkan Kecap! ataupun sambal!
Mereka hanya akan mengotori baju putih kesayanganku ini....
Depok, 15 April 2011
Walah, bukan hanya kecap saja!
Ada juga yang lainnya seperti saus sambal.
Kecap dan saus sambal warnanya hitam dan merah. Aku tak punya baju lain selain baju putihku sendiri. Aku menyesal, sungguh menyesal, hanya karena noda makanan saja, aku bisa mengubah warna baju putihku menjadi merah dan hitam.
Merah
Hitam
Merah
Hitam
Merah
Hitam Hitam
Merah
Hitam
Merah
Hitam
dan Merah! Ah, warna nodanya sungguh tidak menarik. Noda bukanlah warna sablon untuk kaos kesayanganku ini.
Makanan memang sumber energi tubuh. Tetapi energi itu penuh noda.
Nodanya menggelinjang ketika hendak disantap dan bergejolak mengitari perutku. Atau ketika noda itu dengan sengaja kutempelkan pada baju putihku! Aku bahkan tidak sadar!
Hei, kau tukang masak!
Sudah kubilang.....
Jangan ditambahkan Kecap! ataupun sambal!
Mereka hanya akan mengotori baju putih kesayanganku ini....
Depok, 15 April 2011
Siapa Yang Lebih Berkontribusi? (Sajak Ruangan)
"Saudara-saudara, nanti tugas tentang Penyelamatan Lingkungan dikumpulkan lewat forum diskusi kelas di situs resmi kampus ya, jangan lupa, paling lambat 2 minggu setelah pengumuman ini!"
Dinamika kelas yang hidup dengan mahasiswa yang aktif. Kritis, cerdas, dan sangat membanggakan.
Materi perkuliahannya seputar penyelamatan lingkungan, dan penanaman paradigma akan cinta lingkungan hidup.
Dinamika mereka dibungkus oleh ruang kelas yang dingin oleh pendingin ruangan.
Tugas mereka pun diantarkan oleh jaringan maya yang membutuhkan tenaga listrik yang cukup besar.
Paradigma mereka pun masih seperti manusia lain, belum sadar akan perbuatan meskipun kritis pemikirannya.
Mereka mengerjakan tugas-tugas di saat malam hari dengan memaksa personal computernya beroperasi hingga larut malam.
Dan mereka pun lepas dari kampus....
Mereka bekerja pada lembaga yang besar dengan gedung yang megah.
Gedung-gedung kerja dilengkapi dengan pendingin ruangan yang membungkus seluruh ruangan kerja.
Tajuk?
"Mbak, tolong siapkan perahunya, nanti bapak yang jalan saja."
Seorang tua yang miskin dan tak mengenyam pendidikan tentang cinta lingkungan hendak berangkat ke sungai besar.
Tujuannya untuk mengambil sampah-sampah plastik.
Sampah-sampah itu diambil dan dikumpulkan untuk dijadikan bahan baku pembuatan tas belanja.
Bukan hanya itu, sampah-sampah itu diproses ulang untuk dijadikan tudung saji, corong botol, dan benda-benda plastik sedrhana lainnya.
Anaknya juga ikut untuk mengambil enceng gondok di sepanjang bantaran sungai.
Enceng gondok ini juga dijadikan serat-serat untuk membuat kerajinan tas.
Kedua pasang tangan yang cekatan untuk bekerja.
Aksi?
Seandainya Bumi adalah seorang Ibu, dia akan merangkul seorang tua ini dan anaknya.
Ketika itu, intelektual telah dikalahkan oleh kearifan lokal....
Depok, 14 Mei 2011
Dinamika kelas yang hidup dengan mahasiswa yang aktif. Kritis, cerdas, dan sangat membanggakan.
Materi perkuliahannya seputar penyelamatan lingkungan, dan penanaman paradigma akan cinta lingkungan hidup.
Dinamika mereka dibungkus oleh ruang kelas yang dingin oleh pendingin ruangan.
Tugas mereka pun diantarkan oleh jaringan maya yang membutuhkan tenaga listrik yang cukup besar.
Paradigma mereka pun masih seperti manusia lain, belum sadar akan perbuatan meskipun kritis pemikirannya.
Mereka mengerjakan tugas-tugas di saat malam hari dengan memaksa personal computernya beroperasi hingga larut malam.
Dan mereka pun lepas dari kampus....
Mereka bekerja pada lembaga yang besar dengan gedung yang megah.
Gedung-gedung kerja dilengkapi dengan pendingin ruangan yang membungkus seluruh ruangan kerja.
Tajuk?
"Mbak, tolong siapkan perahunya, nanti bapak yang jalan saja."
Seorang tua yang miskin dan tak mengenyam pendidikan tentang cinta lingkungan hendak berangkat ke sungai besar.
Tujuannya untuk mengambil sampah-sampah plastik.
Sampah-sampah itu diambil dan dikumpulkan untuk dijadikan bahan baku pembuatan tas belanja.
Bukan hanya itu, sampah-sampah itu diproses ulang untuk dijadikan tudung saji, corong botol, dan benda-benda plastik sedrhana lainnya.
Anaknya juga ikut untuk mengambil enceng gondok di sepanjang bantaran sungai.
Enceng gondok ini juga dijadikan serat-serat untuk membuat kerajinan tas.
Kedua pasang tangan yang cekatan untuk bekerja.
Aksi?
Seandainya Bumi adalah seorang Ibu, dia akan merangkul seorang tua ini dan anaknya.
Ketika itu, intelektual telah dikalahkan oleh kearifan lokal....
Depok, 14 Mei 2011
Nada Bambu
Bambu di Jawa Barat dirangkai...
Irama sawah dan sendu yang keluar ...
Bambu di Jawa Tengah dirangkai ...
Irama angin semilir dan ngestilaras yang keluar ...
Bambu di Jawa Timur dirangkai ...
Irama distorsi dan nada perulangan yang keluar ...
Bambu di Bali dirangkai ...
Irama cepat dan tergesa-gesa yang keluar ...
Bambu di Sumatera Utara dirangkai ...
Irama berjingkat yang keluar ...
Bambu di Sumatera Barat dirangkai ...
Irama angin dan pegunungan yang keluar ...
Bambu di Lombok dirangkai ...
Irama panas dan pasir yang ditiup angin pun keluar ...
Bambu di Toraja dirangkai ...
Irama mistis yang membekukan jiwa pun keluar ...
Bambu pun identitas
Bambu pun dinamika
Bambu pun berperasaan ...
Bambunya satu, tangannya banyak ...
Pameran Alat Musik Tradisional Seruling
Jakarta, 13 Juni 2011
Irama sawah dan sendu yang keluar ...
Bambu di Jawa Tengah dirangkai ...
Irama angin semilir dan ngestilaras yang keluar ...
Bambu di Jawa Timur dirangkai ...
Irama distorsi dan nada perulangan yang keluar ...
Bambu di Bali dirangkai ...
Irama cepat dan tergesa-gesa yang keluar ...
Bambu di Sumatera Utara dirangkai ...
Irama berjingkat yang keluar ...
Bambu di Sumatera Barat dirangkai ...
Irama angin dan pegunungan yang keluar ...
Bambu di Lombok dirangkai ...
Irama panas dan pasir yang ditiup angin pun keluar ...
Bambu di Toraja dirangkai ...
Irama mistis yang membekukan jiwa pun keluar ...
Bambu pun identitas
Bambu pun dinamika
Bambu pun berperasaan ...
Bambunya satu, tangannya banyak ...
Pameran Alat Musik Tradisional Seruling
Jakarta, 13 Juni 2011
Pada Suatu Malam
Ada satu malam yang sangat memilukan...
Pada sebuah gerbong kereta listrik kelas ekonomi ...
Saat itu Batara Yama bersemayam di dalamnya...
Di tengah-tengah pertukaran keringat para pekerja dan pegawai
Karena bersinggungan tak mendapatkan ruang yang cukup
Ada satu malam yang sangat menyedihkan ...
Pada sebuah gerbong kereta listrik kelas ekonomi ...
Saat itu Batara Yama bersemayam di dalamnya ...
Di tengah-tengah kegelapan gerbong ...
Karena jaringan penerangan yang rusak ...
Ada satu malam yang menggetarkan ...
Pada sebuah gerbong kereta listrik kelas ekonomi ...
Saat itu Batara Yama duduk di salah satu sudut gerbong ...
Di tengah penuh sesaknya penumpang ...
Dan ada satu lelaki tua yang naik dari salah satu stasiun
Para penumpang dengan wajah kecut memberikan ruang untuk lelaki ini
karena memang penuh sesak betul tempatnya...
anaknya yang kira-kira cukup kuat berdiri di tengah-tengah penuh sesaknya penumpang, selalu digotongnya ...
anaknya tampak terkulai, wah... inilah ayah yang penuh perjuangan...
yang mau menggotong seorang anak yang terus tertidur sejak awal dia naik kereta ini.
Dia mengharap satu tempat duduk untuknya,
karena ia menggendong anaknya yang tertidur dan terkulai dalam gendongan
Ada satu malam yang menakutkan
Pada sebuah gerbong kereta listrik kelas ekonomi
Satu orang merelakan tempat duduknya untuk lelaki tua itu
dan lelaki tua duduk dengan memangku anaknya yang sulung sambil menatapnya dengan tatapan pilu...
Tubuh anaknya terkulai lemas tak berdaya, dengan memakai pakaian biru muda yang polos
Dan beberapa orang pegawai terpaku menatap kedua insan ini...
Ada satu malam yang mengharukan
Pada sebuah gerbong kereta listrik kelas ekonomi
Adalah seorang pemuda yang kumal bentuknya, yang memberanikan diri untuk bertanya kepada lelaki tua ini
"Bapak, ini anaknya? sepanjang perjalanan selalu bapak pangku. Ada apa? dia sakit?"
Dan jawabnya kepada pemuda ini,
"Bukan lagi sakit, melainkan telah sempurna dalam hidupnya!"
Ada satu malam yang benar-benar menyentuh hati,
di tengah keacuhan kebanyakan para penumpang...
saat sang ayah turun dari kereta pada satu stasiun sebelum tujuan akhir...
Dan ia tetap menggendong anaknya yang lemah terkulai ...
Saat petanda jalan usai mengaum, lampu kereta menyala...
Gerbong itu tak lagi gelap...
Batara Yama telah pergi dari tempatnya dan kereta itu kembali berjalan...
Kereta ini bagaikan kereta surga yang mengubah kepiluan, menjadi terang dalam perjalanannya.
Penuh sesaknya kereta, paraunya suara orang menyambung hidup, dan gelapnya kereta telah kalah atas sebuah kemenangan dari sebuah perjuangan...
Perjuangan mengantarkan jiwa yang tenang di tengah keletihan para penumpang.
Jakarta, 16 Juni 2011
Puisi untuk Bapak Ruslan, pedagang tahu sumedang yang membawa jenasah anaknya dengan naik kereta karena tak mampu membayar jasa angkuta ambulans.
A-N-M.
KL-3 86113
Pada sebuah gerbong kereta listrik kelas ekonomi ...
Saat itu Batara Yama bersemayam di dalamnya...
Di tengah-tengah pertukaran keringat para pekerja dan pegawai
Karena bersinggungan tak mendapatkan ruang yang cukup
Ada satu malam yang sangat menyedihkan ...
Pada sebuah gerbong kereta listrik kelas ekonomi ...
Saat itu Batara Yama bersemayam di dalamnya ...
Di tengah-tengah kegelapan gerbong ...
Karena jaringan penerangan yang rusak ...
Ada satu malam yang menggetarkan ...
Pada sebuah gerbong kereta listrik kelas ekonomi ...
Saat itu Batara Yama duduk di salah satu sudut gerbong ...
Di tengah penuh sesaknya penumpang ...
Dan ada satu lelaki tua yang naik dari salah satu stasiun
Para penumpang dengan wajah kecut memberikan ruang untuk lelaki ini
karena memang penuh sesak betul tempatnya...
anaknya yang kira-kira cukup kuat berdiri di tengah-tengah penuh sesaknya penumpang, selalu digotongnya ...
anaknya tampak terkulai, wah... inilah ayah yang penuh perjuangan...
yang mau menggotong seorang anak yang terus tertidur sejak awal dia naik kereta ini.
Dia mengharap satu tempat duduk untuknya,
karena ia menggendong anaknya yang tertidur dan terkulai dalam gendongan
Ada satu malam yang menakutkan
Pada sebuah gerbong kereta listrik kelas ekonomi
Satu orang merelakan tempat duduknya untuk lelaki tua itu
dan lelaki tua duduk dengan memangku anaknya yang sulung sambil menatapnya dengan tatapan pilu...
Tubuh anaknya terkulai lemas tak berdaya, dengan memakai pakaian biru muda yang polos
Dan beberapa orang pegawai terpaku menatap kedua insan ini...
Ada satu malam yang mengharukan
Pada sebuah gerbong kereta listrik kelas ekonomi
Adalah seorang pemuda yang kumal bentuknya, yang memberanikan diri untuk bertanya kepada lelaki tua ini
"Bapak, ini anaknya? sepanjang perjalanan selalu bapak pangku. Ada apa? dia sakit?"
Dan jawabnya kepada pemuda ini,
"Bukan lagi sakit, melainkan telah sempurna dalam hidupnya!"
Ada satu malam yang benar-benar menyentuh hati,
di tengah keacuhan kebanyakan para penumpang...
saat sang ayah turun dari kereta pada satu stasiun sebelum tujuan akhir...
Dan ia tetap menggendong anaknya yang lemah terkulai ...
Saat petanda jalan usai mengaum, lampu kereta menyala...
Gerbong itu tak lagi gelap...
Batara Yama telah pergi dari tempatnya dan kereta itu kembali berjalan...
Kereta ini bagaikan kereta surga yang mengubah kepiluan, menjadi terang dalam perjalanannya.
Penuh sesaknya kereta, paraunya suara orang menyambung hidup, dan gelapnya kereta telah kalah atas sebuah kemenangan dari sebuah perjuangan...
Perjuangan mengantarkan jiwa yang tenang di tengah keletihan para penumpang.
Jakarta, 16 Juni 2011
Puisi untuk Bapak Ruslan, pedagang tahu sumedang yang membawa jenasah anaknya dengan naik kereta karena tak mampu membayar jasa angkuta ambulans.
A-N-M.
KL-3 86113
Minggu, 02 Januari 2011
Oh, Parinem Ayu
Oh, Parinem Ayu
Ayu citra wajah desa
Ayu hati belumlah pasti
Ayu laku menyibak kaku
Ayu Rupa lupa biasa
Ayu putri seorang diri
Ayu waktu membawa haru
Oh, Parinem Ayu
Hanya ayu sesaat namun jalan maksiat
Yogyakarta, 2 Januari 2011
Setelah Membaca "Indonesian Human trafficking"
Ayu citra wajah desa
Ayu hati belumlah pasti
Ayu laku menyibak kaku
Ayu Rupa lupa biasa
Ayu putri seorang diri
Ayu waktu membawa haru
Oh, Parinem Ayu
Hanya ayu sesaat namun jalan maksiat
Yogyakarta, 2 Januari 2011
Setelah Membaca "Indonesian Human trafficking"
Sabtu, 01 Januari 2011
Tambal Ban
Tempat tinggalnya reot dan halaman depannya penuh dengan sampah plastik dan kardus. Dirinya begitu kumal dan berdaki seakan bertahun-tahun tidak mandi. Ember adalah sahabatnya. Tuas tambal ban adalah kakaknya. Gulungan ban untuk tambalan adalah kulitnya. Ia bekerja hanya sekedar melayani kebocoran. Orang akan banyak berpikir lebih baik mengganti ban daripada menambalkannya. Darsono namanya, tukang tambal ban asal wonogiri yang membuka praktek di Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Ia tak ingat lagi siapa keluarganya. Anaknya pergi. Istrinya dibunuh orang. Hanya rokok dan seperangkat radio tua yang menjadi teman curhatnya. Terkadang beberapa tukang ojek dan penjual jamu yang mengadu nasib di daerah jakarta selatan menjadi sahabatnya untuk mengobrol. Hasil kerjanya mungkin hanya cukup untuk menghidupi dirinya seorang. Rumah reot itu memiliki sejengkah halaman yang dipajang dengan tulisan, "Tambal Ban Motor". Sebenarnya ia juga menyediakan ban baru untuk mengganti, tetapi hanya musiman ketika tengkulak berani menjual murah kepadanya. Nafas dan jiwanya hanya untuk menambal karena sekelumit tambalan ban berarti sebungkus nasi rames kesukaannya dengan teh manis dan rokok Djarum 76. Motor dengan ban bocor adalah sasarannya, tetapi teramat sangat jarang. Kalaupun ia menderita sakit, ia hanya bisa merebahkan badan atau meminta balsem dari tukang bensin di sebelahnya.
Darsono namanya, tukang tambal ban yang berpenampilan tidak menarik. Dekil dan bau seperti orang yang terasing di antara orang mendekati keasingan lain. Tangan tuanya selalu berurat. Tangan kanan menjaga tuas bakar untuk menambal, tangan kirinya menjepit rokok kesayangannya. Tarif sekali tambal adalah 5 ribu rupiah, kalau sebulan saja bisa mendapat 650 ribu ia sudah sangat bersyukur karena 200 ribu saja untuk pemodalan minyak tanah, ban tambalan, dan lainnya.
Pada suatu siang, motor Honda yang disebut "monthor lanang" mengalami kebocoran pada ban belakang. Pemiliknya adalah seorang pegawai kantoran, tentunya mencari tambal ban dengan tujuan mengganti ban bukan untuk menambal ban. Dengan perasaan terpaksa ia mampir ke gubuk milik darsono. Mengapa terpaksa? Ia hanya meyakini tempat reot seperti ini pasti memiliki kualitas ban yang sangat jinthiran, atau bahkan ia berpikiran bahwa darsono hanya akan menambal bannya bukan menggantinya. Pemilik monthor lanang itu sempat kecewa karena Darsono tidak meyediakan ban dalam motor tiger ukuran belakang. Sang Pemilik berpikiran bahwa ditambal mungkin untuk sementara. Ia akan ke bengkel resmi untuk menggenahkan nasib bannya supaya lebih pasti dan lebih panjang umur.
"Pak, dekat sini ada bengkel resmi yang jual ban resmi? Ini saya tambal dulu aja lah, buat sementara"
Darsono hanya menjawab, "yahh, depan situ sekitar 2 kilo lagi ada bengkel resmi, bapaknya mau ganti ban? jadi ditambal?"
"hasyaaahh, pake tanya lagi..... udah tambal aja, tambal yang bagus, paling gak awet-awet banget khan? makanya ini untuk sementara nanti aku ganti yang baru! udah tambal aja buat alas langkah dua kilo ke depan!"
Tanpa banyak bicara Darsono menambalnya dengan fokusnya. Tiap detail ban ia perhatikan dengan teliti. Ia bahkan membaca doa dalam menambal ban itu. selesailah pekerjaan menambal ban belakangnya.
"Sudah pak, lima ribu harganya.", kata Darsono sambil tersenyum ramah dengan gigi kuning bekas rokok itu.
" kamu punya kembalian? uangku 100 ribu?"
" wah, enggak ada pak, ya sudah dibawa saja uangnya, lain kali saja!"
"Lain kali? mau gak dibayar? ya nggak apa-apa kalo gitu aku yo malah nggak kelongan uang. Mau lain kali kapan? lain kali banku gak butuh tambalan lagi pak!"
Darsono hanya menerima kalimat itu dengan sedikit trenyuh. Ia membalasnya dengan ramah dan mengatakan, "ya sudah, tidak apa-apa, hati-hati ya pak, di depan itu dua kilo lagi ada bengkel resmi."
Dua kilo memang dekat untuk ukuran motor honda besar itu. Pemilik motor itu sampai pula di bengkel resmi. Bengkel resmi memang beda dengan gubuk Darsono. Bentuknya seperti pit stop sirkuit. Kasirnya ramah dan cantik dengan rok ketat di atas paha, padahal kampung asalnya juga Wonogiri. Mekaniknya sungguh terlatih karena mereka pernah bersekolah.
Dengan nada yang sedikit lebih wangun, pemilik motor itu memohonkan mengganti ban. "begini nih, tadi ban saya bocor, saya tambalin deh, nah... khan saya takut bocor lagi, makanya saya minta ganti ban saja daripada ban saya berresiko!"
"Silahkan bapak tunggu di ruang tunggu, setelah selesai, mekaniknya akan menghubungi bapak."
Giliran motor honda besar bernama tiger itu dilepas ban belakangnya. Dibuka isi ban luar dan dikeluarkan ban dalamnya. Mekanik itu hanya heran dan mengernyitkan dahinya. Mekanik itu kemudian menghampiri pemilik motornya sambil mengatakan, "Pak, ini serius mau diganti? bannya masih sangat baru seperti ini, sepertinya ini baru jalan dua kilo."
Depok, 11 Oktober 2010
Sedikit berlatih untuk menulis Cerpen, mohon masukkan dan saran yah,
Silahkan menangkap arti dan inti cerita yang saya buat..
Norman Mahardhika Agustinus
Ia tak ingat lagi siapa keluarganya. Anaknya pergi. Istrinya dibunuh orang. Hanya rokok dan seperangkat radio tua yang menjadi teman curhatnya. Terkadang beberapa tukang ojek dan penjual jamu yang mengadu nasib di daerah jakarta selatan menjadi sahabatnya untuk mengobrol. Hasil kerjanya mungkin hanya cukup untuk menghidupi dirinya seorang. Rumah reot itu memiliki sejengkah halaman yang dipajang dengan tulisan, "Tambal Ban Motor". Sebenarnya ia juga menyediakan ban baru untuk mengganti, tetapi hanya musiman ketika tengkulak berani menjual murah kepadanya. Nafas dan jiwanya hanya untuk menambal karena sekelumit tambalan ban berarti sebungkus nasi rames kesukaannya dengan teh manis dan rokok Djarum 76. Motor dengan ban bocor adalah sasarannya, tetapi teramat sangat jarang. Kalaupun ia menderita sakit, ia hanya bisa merebahkan badan atau meminta balsem dari tukang bensin di sebelahnya.
Darsono namanya, tukang tambal ban yang berpenampilan tidak menarik. Dekil dan bau seperti orang yang terasing di antara orang mendekati keasingan lain. Tangan tuanya selalu berurat. Tangan kanan menjaga tuas bakar untuk menambal, tangan kirinya menjepit rokok kesayangannya. Tarif sekali tambal adalah 5 ribu rupiah, kalau sebulan saja bisa mendapat 650 ribu ia sudah sangat bersyukur karena 200 ribu saja untuk pemodalan minyak tanah, ban tambalan, dan lainnya.
Pada suatu siang, motor Honda yang disebut "monthor lanang" mengalami kebocoran pada ban belakang. Pemiliknya adalah seorang pegawai kantoran, tentunya mencari tambal ban dengan tujuan mengganti ban bukan untuk menambal ban. Dengan perasaan terpaksa ia mampir ke gubuk milik darsono. Mengapa terpaksa? Ia hanya meyakini tempat reot seperti ini pasti memiliki kualitas ban yang sangat jinthiran, atau bahkan ia berpikiran bahwa darsono hanya akan menambal bannya bukan menggantinya. Pemilik monthor lanang itu sempat kecewa karena Darsono tidak meyediakan ban dalam motor tiger ukuran belakang. Sang Pemilik berpikiran bahwa ditambal mungkin untuk sementara. Ia akan ke bengkel resmi untuk menggenahkan nasib bannya supaya lebih pasti dan lebih panjang umur.
"Pak, dekat sini ada bengkel resmi yang jual ban resmi? Ini saya tambal dulu aja lah, buat sementara"
Darsono hanya menjawab, "yahh, depan situ sekitar 2 kilo lagi ada bengkel resmi, bapaknya mau ganti ban? jadi ditambal?"
"hasyaaahh, pake tanya lagi..... udah tambal aja, tambal yang bagus, paling gak awet-awet banget khan? makanya ini untuk sementara nanti aku ganti yang baru! udah tambal aja buat alas langkah dua kilo ke depan!"
Tanpa banyak bicara Darsono menambalnya dengan fokusnya. Tiap detail ban ia perhatikan dengan teliti. Ia bahkan membaca doa dalam menambal ban itu. selesailah pekerjaan menambal ban belakangnya.
"Sudah pak, lima ribu harganya.", kata Darsono sambil tersenyum ramah dengan gigi kuning bekas rokok itu.
" kamu punya kembalian? uangku 100 ribu?"
" wah, enggak ada pak, ya sudah dibawa saja uangnya, lain kali saja!"
"Lain kali? mau gak dibayar? ya nggak apa-apa kalo gitu aku yo malah nggak kelongan uang. Mau lain kali kapan? lain kali banku gak butuh tambalan lagi pak!"
Darsono hanya menerima kalimat itu dengan sedikit trenyuh. Ia membalasnya dengan ramah dan mengatakan, "ya sudah, tidak apa-apa, hati-hati ya pak, di depan itu dua kilo lagi ada bengkel resmi."
Dua kilo memang dekat untuk ukuran motor honda besar itu. Pemilik motor itu sampai pula di bengkel resmi. Bengkel resmi memang beda dengan gubuk Darsono. Bentuknya seperti pit stop sirkuit. Kasirnya ramah dan cantik dengan rok ketat di atas paha, padahal kampung asalnya juga Wonogiri. Mekaniknya sungguh terlatih karena mereka pernah bersekolah.
Dengan nada yang sedikit lebih wangun, pemilik motor itu memohonkan mengganti ban. "begini nih, tadi ban saya bocor, saya tambalin deh, nah... khan saya takut bocor lagi, makanya saya minta ganti ban saja daripada ban saya berresiko!"
"Silahkan bapak tunggu di ruang tunggu, setelah selesai, mekaniknya akan menghubungi bapak."
Giliran motor honda besar bernama tiger itu dilepas ban belakangnya. Dibuka isi ban luar dan dikeluarkan ban dalamnya. Mekanik itu hanya heran dan mengernyitkan dahinya. Mekanik itu kemudian menghampiri pemilik motornya sambil mengatakan, "Pak, ini serius mau diganti? bannya masih sangat baru seperti ini, sepertinya ini baru jalan dua kilo."
Depok, 11 Oktober 2010
Sedikit berlatih untuk menulis Cerpen, mohon masukkan dan saran yah,
Silahkan menangkap arti dan inti cerita yang saya buat..
Norman Mahardhika Agustinus
Natal Untuk Rukmi
Sudah tiga bulan ia terbaring di rumah sakit. Tiga bulan lagi dokter memprediksi bahwa ia akan mati. Ia adalah anakku. Anakku, Maria Magdalena Rukmi. Umurnya sembilan tahun. Ia sakit pendarahan liver sejak tiga bulan yang lalu dan kubawa ke rumah sakit dengan masih menanggung hutang untuk rumah sakit. Tak mengapa, saat hari natal tiba, aku pasrah saja. Nasibnya ada di tangan Kristus.Tiga bulan lagi adalah hari Natal.
***
Setiap ia terbangun dari tidur, ia selalu mengigau tentang sekolahnya yang ditinggalkan sejak ia masuk rumah sakit. Terkadang ia bertanya kepadaku, "Ayah, aku ingin sekolah! apakah aku masih bisa sekolah? Aku ingin bermain dengan Cindy dan Putri!". Pertanyaan itu selalu diulangi dari waktu ke waktu. Dengan jawaban yang sama tanpa mengklarifikasi kebenaran jawaban, aku menjawab, "Ya, pasti anakku, pasti! Nanti kalau sudah sembuh, kamu pasti bisa masuk sekolah dan bermain lagi!". Setiap jam di samping tempat tidur anakku, aku menjaganya bersama istriku, Tanti. Tanti terus menerus melanjutkan Novena. Setiap pagi di gereja, ia selalu menengadah kepada Bunda Maria dan melanjutkan novena. Walaupun dokter mengatakan bahwa nyawa Rukmi akan berakhir beberapa hari sebelum hari natal, Tanti tetap berdoa. Tak mengapa, saat hari natal tiba, aku pasrah saja. Nasibnya ada di tangan Kristus. Lima bulan lagi adalah hari Natal.
Perusahaan tempatku bekerja sedang mengalami ujian berat. Target keuntungan perusahaan gagal. Perusahaan sedang menanggung utang yang besar. Untuk meringankan beban perusahaan, perusahaan memecat beberapa karyawan. Aku adalah salah satunya. Aku hanya dibekali uang pesangon yang sangat tidak manusiawi. Melalui penuturan ini, aku tak akan menyebutkan nominalnya. Aku dipecat saat Rukmi dirawat selama sebulan. Sulit? Kata sulit memang yang sedang kualami. Sebulan telah lewat dan biaya perawatan rukmi beserta biaya operasi, infus, hemodialisa, dan obat-obatannya akan mendaftarkan diri untuk ditagihkan kepadaku. Aku hanya bisa memegang gambar wajah Yesus dan merenungi nasib sambil berdoa. Tak mengapa, saat hari natal tiba, aku pasrah saja. Nasibnya ada di tangan Kristus. Empat bulan lagi adalah hari Natal.
Meski dokter telah mengatakan bahwa nyawa Rukmi tinggal empat bulan lagi, aku dan Tanti tidak tinggal diam. Untuk menebus utang-utang Rumah Sakit, aku mendaftarkan diri sebagai kasir di restoran waralaba di kawasan nongkrong anak muda, daerah Jakarta Selatan. Tanti membuka usaha membuat sarung untuk dipakaikan pada buku lagu gereja, Puji Syukur. Selain itu, Tanti juga menjual kriya karyanya seperti sulaman taplak meja, merajut rosario, dan menjadi suplier barang-barang rohani. Tanti memang aktif di gereja, tetapi aku tidak. Ah, yang penting aku tetap mencintai Yesus. Aku bekerja dari pagi sampai sore dengan bayaran yang menurut aku cukup untuk menutupi utang-utang rumah sakit. Aku juga mendapat pinjaman dari adikku untuk biaya perawatan Rukmi. Dari hasil yang aku kumpulkan bersama Rukmi dan adikku, Hernowo, pasti cukup untuk merawat Rukmi. Asal rukmi tetap stabil pada kondisinya, pasti biayanya tidak lagi bertambah. Tetapi, dokter telah mengatakan bahwa nyawanya akan berakhir sebelum hari Natal. Tak Mengapa, ketika hari natal tiba, aku pasrah saja. Nasibnya ada di tangan Kristus. Ya! memang tiga bulan lagi ia akan meninggalkan dunia! uang yang aku kumpulkan saja baru hasil selama dua minggu terakhir di bulan ini.
"Ayah, apakah Rukmi bisa bersekolah sekarang?" Rukmi tiba-tiba terbangun dari tidur sorenya. Aku kaget dan melihat dia nampak segar ketika bangun tidur. "Belum nak, sekarang saja masih sore."
"Kalau besok pagi, bagaimana yah?"
"Besok Pagi? Nak, kamu belum sembuh total, biarkan saja kamu sembuh terlebih dahulu! sambil menunggu sembuh, kamu makan yah!" kusuapi dia dengan makanan rumah sakit yang telah terjamin nutrisinya.
"Tetapi, Rukmi sudah janji dengan bu Prudentia kalau Rukmi akan bernyanyi di natalan sekolah. Rukmi harus latihan bersama teman-teman."
"Nak, kalau kamu belum sembuh, jangan paksakan dirimu dulu. yaudah, kalau begitu sekarang kita berdoa yuk, dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus, amin, Tuhan....."
Setiap hari ia tidak pernah kuberitahu bahwa ia akan meninggal. Tetapi dokter sangat sulit untuk diajak bertemu. Dia pergi ke Surabaya untuk menangguhkan tesisnya dan dia akan menjadi Dr.dr. Doktor, Dokter... nyawa anakku sudah kugantungkan melalui tangan dokter sebagai perantara Tuhan. Aku hanya meyakini, yang menyembuhkan ataupun yang menentukan adalah Tuhan, dokter hanyalah medium. Tak mengapa? Aku semakin takut! Dua bulan lagi nyawa anakku ini diprediksi akan berhenti bernaung di tubuhnya. Penghasilan sementaraku setiap pagi hingga sore seolah-olah tak berarti bagi anakku, begitu juga Tanti. Tetapi, Nasibnya ada di tangan Kristus. Aku pasrah saja. Dokter? siapakah kamu?
***
Hari ini masuk minggu pertama adven. Dokter telah kembali dari penangguhan tesisnya. Ia meraba-raba anakku dan memeriksanya. Beberapa menit ia mengatakan kepada aku dan Tanti, "maaf Pak dan Bu, kami sudah mengusahakan yang terbaik, tetapi nyawa Rukmi memang tinggal tiga minggu lagi. Semoga Bapak dan Ibu tetap tabah menerima ini semua, nah untuk masalah pembayaran, silahkan Bapak dan Ibu mengurus di bagian ........."
"Ya...ya..., saya paham, pasti akan saya bayar Dok."
"Oke, pasrahkanlah kepada Tuhan. Selamat Malam"
Kuakui pembicaraanku dengan dokter tidak membuat hati tenteram. Ia ternyata tetap bersikukuh dengan diagnosanya mengenai umur Rukmi. Belum lagi, ia menyuratkan pembayaran rumah sakit. Aduh, sabar ya! aku dan Tanti tidak serta merta memiliki uang yang banyak dalam waktu singkat.
Kulihat anakku berkeringat di dahi. Batuk-batuk mulai santer terdengar. Tanti menangis di pundakku. Aku, hanya memandangi anakku. "Bu, ayo kita misa adven dulu, kita berdoa lagi ya!". Aku pasrahkan anakku untuk dijaga oleh adikku yang berbeda keyakinan denganku. Aku berdoa lagi dan memasang harapan pada Bunda Maria di gereja. Aku dan Tanti melanjutkan novena. Uang harus ada untuk perawatan anakku. Namun, nyawa anakku kupasrahkan kepada Kristus. Sebentar lagi, hari Natal akan tiba.
Hari-hari kujalani seperti biasanya dengan kerja di restoran. Tanti tetap menjual di kios gereja. Tanti sedikit terhibur dengan banyaknya orang yang membeli sulaman kainnya dan replika pohon Natal. Dengan banyaknya pembeli, maka makin besar pula honornya. Belum lagi, Tanti mendapatkan uang hasil dari penggalangan dana gereja untuk membantu pengobatan Rukmi.
Batuk-batuk dan keringat dingin mulai sering berlomba-lomba mengumandangkan diri dari tubuh anakku. Muntah Darah dan nafas yang tersengal-sengal sering diderita anakku. Aku mulai tak tega melihatnya. Sepertinya, diagnosa dokter benar. Yesus? Bunda Maria? Pengharapan? Sudah Pasrahkan saja, memang kalau benar demikian yang terjadi, aku sudah rela dengan keadaan yang demikian. Aku hanya bisa mengharap, suatu saat aku bisa bersamanya lagi di suatu tempat yang dijanjikan Tuhan. Dua minggu lagi, nyawa anakku diprediksi akan pergi dari tubuhnya. Aku Pasrah saja, nasibnya ada di tangan Kristus.
"Ibuuuuuu, Ayaaaaaaahhhh, Rukmi merasa sakit! sakit sekali! Tuhan Yesuuuusss..... !"
Aku tak tega. Tanti mengelus dan mengipasinya sambil menangis. Air matanya jatuh di dahi Rukmi. Perawat terus datang untuk menyuntikkan Peptisol. Setelah disuntikkan, beberapa menit kemudian redalah teriakan Rukmi. Kini ia tenang, kembali tidur. Keringatnya telah membasahi bantalnya. Bantal itu diganti dengan bantal yang baru.
Tuhan, Kau jawab doaku kah? Kau tahu rasanya menjadi aku? Ah, tak perlu kau merasakan apa yang aku rasakan. Kaulah Maha Kuasa, Maha Mengerti, Maha Mengasihi, Maha Menyayangi, Maha Pengampun, dan namaMu adalah Besar. Tuhan? Ialah anakku. Cepat sekali Kau akan panggil dia?
***
Hari ini tanggal Dua Puluh Empat. Besok adalah Hari Natal, Ya, esok adalah hari Natal. Semua keluarga bersuka cita sambil temu keluarga. Kini aku dan Tanti disamping tempat tidur anakku. Anakku, Rukmi masih sering muntah-muntah, bahkan semakin sering muntah-muntah. Aku semakin tak tahu apa yang harus kuperbuat sekarang. Doa, Uang, semuanya, demi anakku aku sudah sekuat tenaga mengusahakannya. Masih kurangkah usahaku? Memang, usahaku tidak sesempurna usaha Kristus dalam menapaki jalan salibNya. Yah, kalau memang usahaku masih kurang, Tuhan, ambillah nyawa anakku kalau memang aku bekum siap untuk merawat titipan ilahi dariMu.
Pukul 00.00, aku terbangun dari tidur disamping tempat tidur anakku. Aku melihat wajah Rukmi begitu berseri-seri. Rukmi tampak mengenakan baju putih berkilauan dengan mata yang bersinar. Rukmi tersenyum kepadaku dan sekejap aku sedikit gentar. Aku bergegas berdiri dan ingin kuraih tangan Rukmi. Rukmi tersenyum kepadaku sambil mengulurkan tangannya. Kupegang tangannya. Ekstase? tanpa bicara...apa maksudnya? Tuhan?
***
Hari Natal telah tiba. Aku melihat Rukmi masih tertidur setelah semalam sempat memanggilku melalui ekstase yang terjadi. Kupegang kepala Rukmi. Setengah jam kemudian, ia membuka matanya dan tersenyum kepadaku. Tanti segera berdiri dan menghampiri Rukmi. Tanti di samping kanannya, aku disamping kirinya. Rukmi nampak sehat. Tangan Rukmi menginginkan rambut Tanti untuk dibelai.
Kejadian ini?
.....................................................................
"Ayah dan Ibu, Selamat Hari Natal ya! aku sayang ayah dan Ibu!
Jakartakota, 19 Desember 2010
Permenungan dan Doa.
Perjuangan dan Pengharapan.
Silahkan menikmati cerita pendek ini.
Kritik dan Saran sangat dibutuhkan.
***
Setiap ia terbangun dari tidur, ia selalu mengigau tentang sekolahnya yang ditinggalkan sejak ia masuk rumah sakit. Terkadang ia bertanya kepadaku, "Ayah, aku ingin sekolah! apakah aku masih bisa sekolah? Aku ingin bermain dengan Cindy dan Putri!". Pertanyaan itu selalu diulangi dari waktu ke waktu. Dengan jawaban yang sama tanpa mengklarifikasi kebenaran jawaban, aku menjawab, "Ya, pasti anakku, pasti! Nanti kalau sudah sembuh, kamu pasti bisa masuk sekolah dan bermain lagi!". Setiap jam di samping tempat tidur anakku, aku menjaganya bersama istriku, Tanti. Tanti terus menerus melanjutkan Novena. Setiap pagi di gereja, ia selalu menengadah kepada Bunda Maria dan melanjutkan novena. Walaupun dokter mengatakan bahwa nyawa Rukmi akan berakhir beberapa hari sebelum hari natal, Tanti tetap berdoa. Tak mengapa, saat hari natal tiba, aku pasrah saja. Nasibnya ada di tangan Kristus. Lima bulan lagi adalah hari Natal.
Perusahaan tempatku bekerja sedang mengalami ujian berat. Target keuntungan perusahaan gagal. Perusahaan sedang menanggung utang yang besar. Untuk meringankan beban perusahaan, perusahaan memecat beberapa karyawan. Aku adalah salah satunya. Aku hanya dibekali uang pesangon yang sangat tidak manusiawi. Melalui penuturan ini, aku tak akan menyebutkan nominalnya. Aku dipecat saat Rukmi dirawat selama sebulan. Sulit? Kata sulit memang yang sedang kualami. Sebulan telah lewat dan biaya perawatan rukmi beserta biaya operasi, infus, hemodialisa, dan obat-obatannya akan mendaftarkan diri untuk ditagihkan kepadaku. Aku hanya bisa memegang gambar wajah Yesus dan merenungi nasib sambil berdoa. Tak mengapa, saat hari natal tiba, aku pasrah saja. Nasibnya ada di tangan Kristus. Empat bulan lagi adalah hari Natal.
Meski dokter telah mengatakan bahwa nyawa Rukmi tinggal empat bulan lagi, aku dan Tanti tidak tinggal diam. Untuk menebus utang-utang Rumah Sakit, aku mendaftarkan diri sebagai kasir di restoran waralaba di kawasan nongkrong anak muda, daerah Jakarta Selatan. Tanti membuka usaha membuat sarung untuk dipakaikan pada buku lagu gereja, Puji Syukur. Selain itu, Tanti juga menjual kriya karyanya seperti sulaman taplak meja, merajut rosario, dan menjadi suplier barang-barang rohani. Tanti memang aktif di gereja, tetapi aku tidak. Ah, yang penting aku tetap mencintai Yesus. Aku bekerja dari pagi sampai sore dengan bayaran yang menurut aku cukup untuk menutupi utang-utang rumah sakit. Aku juga mendapat pinjaman dari adikku untuk biaya perawatan Rukmi. Dari hasil yang aku kumpulkan bersama Rukmi dan adikku, Hernowo, pasti cukup untuk merawat Rukmi. Asal rukmi tetap stabil pada kondisinya, pasti biayanya tidak lagi bertambah. Tetapi, dokter telah mengatakan bahwa nyawanya akan berakhir sebelum hari Natal. Tak Mengapa, ketika hari natal tiba, aku pasrah saja. Nasibnya ada di tangan Kristus. Ya! memang tiga bulan lagi ia akan meninggalkan dunia! uang yang aku kumpulkan saja baru hasil selama dua minggu terakhir di bulan ini.
"Ayah, apakah Rukmi bisa bersekolah sekarang?" Rukmi tiba-tiba terbangun dari tidur sorenya. Aku kaget dan melihat dia nampak segar ketika bangun tidur. "Belum nak, sekarang saja masih sore."
"Kalau besok pagi, bagaimana yah?"
"Besok Pagi? Nak, kamu belum sembuh total, biarkan saja kamu sembuh terlebih dahulu! sambil menunggu sembuh, kamu makan yah!" kusuapi dia dengan makanan rumah sakit yang telah terjamin nutrisinya.
"Tetapi, Rukmi sudah janji dengan bu Prudentia kalau Rukmi akan bernyanyi di natalan sekolah. Rukmi harus latihan bersama teman-teman."
"Nak, kalau kamu belum sembuh, jangan paksakan dirimu dulu. yaudah, kalau begitu sekarang kita berdoa yuk, dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus, amin, Tuhan....."
Setiap hari ia tidak pernah kuberitahu bahwa ia akan meninggal. Tetapi dokter sangat sulit untuk diajak bertemu. Dia pergi ke Surabaya untuk menangguhkan tesisnya dan dia akan menjadi Dr.dr. Doktor, Dokter... nyawa anakku sudah kugantungkan melalui tangan dokter sebagai perantara Tuhan. Aku hanya meyakini, yang menyembuhkan ataupun yang menentukan adalah Tuhan, dokter hanyalah medium. Tak mengapa? Aku semakin takut! Dua bulan lagi nyawa anakku ini diprediksi akan berhenti bernaung di tubuhnya. Penghasilan sementaraku setiap pagi hingga sore seolah-olah tak berarti bagi anakku, begitu juga Tanti. Tetapi, Nasibnya ada di tangan Kristus. Aku pasrah saja. Dokter? siapakah kamu?
***
Hari ini masuk minggu pertama adven. Dokter telah kembali dari penangguhan tesisnya. Ia meraba-raba anakku dan memeriksanya. Beberapa menit ia mengatakan kepada aku dan Tanti, "maaf Pak dan Bu, kami sudah mengusahakan yang terbaik, tetapi nyawa Rukmi memang tinggal tiga minggu lagi. Semoga Bapak dan Ibu tetap tabah menerima ini semua, nah untuk masalah pembayaran, silahkan Bapak dan Ibu mengurus di bagian ........."
"Ya...ya..., saya paham, pasti akan saya bayar Dok."
"Oke, pasrahkanlah kepada Tuhan. Selamat Malam"
Kuakui pembicaraanku dengan dokter tidak membuat hati tenteram. Ia ternyata tetap bersikukuh dengan diagnosanya mengenai umur Rukmi. Belum lagi, ia menyuratkan pembayaran rumah sakit. Aduh, sabar ya! aku dan Tanti tidak serta merta memiliki uang yang banyak dalam waktu singkat.
Kulihat anakku berkeringat di dahi. Batuk-batuk mulai santer terdengar. Tanti menangis di pundakku. Aku, hanya memandangi anakku. "Bu, ayo kita misa adven dulu, kita berdoa lagi ya!". Aku pasrahkan anakku untuk dijaga oleh adikku yang berbeda keyakinan denganku. Aku berdoa lagi dan memasang harapan pada Bunda Maria di gereja. Aku dan Tanti melanjutkan novena. Uang harus ada untuk perawatan anakku. Namun, nyawa anakku kupasrahkan kepada Kristus. Sebentar lagi, hari Natal akan tiba.
Hari-hari kujalani seperti biasanya dengan kerja di restoran. Tanti tetap menjual di kios gereja. Tanti sedikit terhibur dengan banyaknya orang yang membeli sulaman kainnya dan replika pohon Natal. Dengan banyaknya pembeli, maka makin besar pula honornya. Belum lagi, Tanti mendapatkan uang hasil dari penggalangan dana gereja untuk membantu pengobatan Rukmi.
Batuk-batuk dan keringat dingin mulai sering berlomba-lomba mengumandangkan diri dari tubuh anakku. Muntah Darah dan nafas yang tersengal-sengal sering diderita anakku. Aku mulai tak tega melihatnya. Sepertinya, diagnosa dokter benar. Yesus? Bunda Maria? Pengharapan? Sudah Pasrahkan saja, memang kalau benar demikian yang terjadi, aku sudah rela dengan keadaan yang demikian. Aku hanya bisa mengharap, suatu saat aku bisa bersamanya lagi di suatu tempat yang dijanjikan Tuhan. Dua minggu lagi, nyawa anakku diprediksi akan pergi dari tubuhnya. Aku Pasrah saja, nasibnya ada di tangan Kristus.
"Ibuuuuuu, Ayaaaaaaahhhh, Rukmi merasa sakit! sakit sekali! Tuhan Yesuuuusss..... !"
Aku tak tega. Tanti mengelus dan mengipasinya sambil menangis. Air matanya jatuh di dahi Rukmi. Perawat terus datang untuk menyuntikkan Peptisol. Setelah disuntikkan, beberapa menit kemudian redalah teriakan Rukmi. Kini ia tenang, kembali tidur. Keringatnya telah membasahi bantalnya. Bantal itu diganti dengan bantal yang baru.
Tuhan, Kau jawab doaku kah? Kau tahu rasanya menjadi aku? Ah, tak perlu kau merasakan apa yang aku rasakan. Kaulah Maha Kuasa, Maha Mengerti, Maha Mengasihi, Maha Menyayangi, Maha Pengampun, dan namaMu adalah Besar. Tuhan? Ialah anakku. Cepat sekali Kau akan panggil dia?
***
Hari ini tanggal Dua Puluh Empat. Besok adalah Hari Natal, Ya, esok adalah hari Natal. Semua keluarga bersuka cita sambil temu keluarga. Kini aku dan Tanti disamping tempat tidur anakku. Anakku, Rukmi masih sering muntah-muntah, bahkan semakin sering muntah-muntah. Aku semakin tak tahu apa yang harus kuperbuat sekarang. Doa, Uang, semuanya, demi anakku aku sudah sekuat tenaga mengusahakannya. Masih kurangkah usahaku? Memang, usahaku tidak sesempurna usaha Kristus dalam menapaki jalan salibNya. Yah, kalau memang usahaku masih kurang, Tuhan, ambillah nyawa anakku kalau memang aku bekum siap untuk merawat titipan ilahi dariMu.
Pukul 00.00, aku terbangun dari tidur disamping tempat tidur anakku. Aku melihat wajah Rukmi begitu berseri-seri. Rukmi tampak mengenakan baju putih berkilauan dengan mata yang bersinar. Rukmi tersenyum kepadaku dan sekejap aku sedikit gentar. Aku bergegas berdiri dan ingin kuraih tangan Rukmi. Rukmi tersenyum kepadaku sambil mengulurkan tangannya. Kupegang tangannya. Ekstase? tanpa bicara...apa maksudnya? Tuhan?
***
Hari Natal telah tiba. Aku melihat Rukmi masih tertidur setelah semalam sempat memanggilku melalui ekstase yang terjadi. Kupegang kepala Rukmi. Setengah jam kemudian, ia membuka matanya dan tersenyum kepadaku. Tanti segera berdiri dan menghampiri Rukmi. Tanti di samping kanannya, aku disamping kirinya. Rukmi nampak sehat. Tangan Rukmi menginginkan rambut Tanti untuk dibelai.
Kejadian ini?
.....................................................................
"Ayah dan Ibu, Selamat Hari Natal ya! aku sayang ayah dan Ibu!
Jakartakota, 19 Desember 2010
Permenungan dan Doa.
Perjuangan dan Pengharapan.
Silahkan menikmati cerita pendek ini.
Kritik dan Saran sangat dibutuhkan.
Moonlight
Moonlight
Lune. Gadis kecil berusia enam tahun. Dia adalah anak tunggalku. Wajahnya adalah cerminan dari wajahku, ibunya. Rambutnya yang flaxen dan pirang. Hidungnya seperti hidung ayahnya. Ah, ayahnya, seseorang yang menjadi pujaan hatiku sepanjang masa. Kini, suamiku, Robert berada di alam yang berbeda denganku. Lune, gadis kecil yang selalu bertanya tentang bulan indah ini; Bulan Juni. Ya, dia selalu penasaran dengan bulan Juni. Aku selalu melamun ketika bulan Juni. Air mataku selalu berlinang di bulan Juni. Aku selalu teringat akan sesosok Robert. Robert Guarnere, dia keturunan Prancis.
Aku dan Lune bak burung kondor yang hanya hidup dengan anaknya tanpa kehadiran sesosok pemimpin dalam keluarga. Ah, Juni. Terkadang aku begitu merindukan bulan Juni. Ketika bulan Juni datang, aku justru ingin keluar dari waktu-waktu di Bulan Juni. Tiga Juni. Hari itu hari Senin.
Lune selalu bertanya di setiap malam sebelum ia pergi tidur. Lune selalu menanyakan siapakah ayahnya. Lune selalu merasa tidak lazim karena teman-teman sebayanya di sekolah memiliki ayah, sedangkan Lune tidak. Lune memang pernah memiliki ayah. Lune belum pernah melihat ayahnya. Robert pun belum pernah melihat Lune, anaknya yang tunggal itu.
Setiap malam bulan Juni adalah malam indah karena sinar bulan selalu tersenyum di atas rumah ini. Kuajak Lune melihat sinar bulan di teras rumah. Lune hanya lugu mendengarkan ceracauku, khayalanku untuk bisa meraih bulan itu karena bulan itu selalu mengingatkan Robert, suamiku yang pergi entah kemana.
“Lihatlah, anakku, bulan itu penuh dan begitu terang, aku jadi teringat akan Robert, ialah ayahmu nak.”
“Kenapa ibu tidak pernah menceritakan cerita tentang ayah? Lune punya ayah kan? Teman-teman Lune di sekolah punya ayah. Lune ingin melhat ayah!”
“Nak, kelak ketika kamu cukup umur, kamu akan mengerti, siapakah ayahmu itu.”
“Ibu, Lune ingin bertemu ayah, pasti ia mengendarai mobil, pasti ia memiliki jenggot, pasti ia selalu menggandeng tanganku kalau ia mengantarku ke sekolah. Ibu, Lune ingin melihat ayah!”
Setiap hari bulan selalu menampakkan wajahnya di bulan Juni. Juni, ialah bulan yang menyiksaku karena membuatku terkungkung dalam memori indah bersama Robert. Juni, bulan yang membuatku gila. Aku meracau, mengkhayal, berteriak-teriak, dan aku membayangkan Robert memelukku, membagi sapuan bibirnya untukku, dan perlahan membopongku ke kamar untuk menikmati hal yang manusiawi. Aku gila!
Aku gila! Ya aku selalu mengkhayal seperti orang kehilangan arah mimpinya. Tetanggaku memang pernah mengatakan kepadaku supaya aku mencari pengganti sosok Robert. Memang banyak orang yang menyarankan supaya aku segera menikah. Mereka para istri yang senasib denganku sudah menikah. Hanya aku yang menikmati pilihanku yang sedikit gila ini. Aku tak ingin menikah sebelum Robert yang lama ataupun baru merajai hatiku ini. Robert sosok yang sempurna bagiku. Laki-laki lain tidak segagah Robert. Laki-laki lain tidak setampan Robert. Mungkin saja ada tetapi Robertlah yang jadi sosok sempurna bagiku. Hanya ingin sendiri dan sendiri sebelum bulan melemparkan Robert kembali entah bagimana caranya.
Ah, hidup normal. Bersuami dan anggota keluarga selalu lengkap. Aku bukan tak peduli akan kelengkapan anggota keluarga. Aku hanya belum ingin bersuami sebelum Robert datang dan memlukku lagi. Robert Guarnere, atau Robert bla..bla…bla. Pokoknya harus sama sosoknya seperti Robert.
“Ibu, ceritakan padaku tentang bulan Juni!” Lune seperti ingin didongengkan sebelum ia menuju alam mimpi indahnya sebagai anak kecil.
Air mataku menetes. Sesegera mungkin aku menghapus air mata itu dan Lune begitu penasaran.
“Mengapa Ibu menangis? Ayolah bu, ceritakan padaku!”, Lune kian memaksaku. Aku tak ingin bayang-bayang Robert selalu ada di pikiranku.
“Nak, kalau bulan Juni, ibu selalu teringat bayang-bayang wajah ayahmu! Ibu tidak sanggup cerita dengan bayang-bayang wajah ayahmu!”
“Kalau Ibu tak mau cerita, Lune lebih baik main ke rumah Acxel, ayahnya Acxel begitu baik dan aku ingin punya ayah! Ayahnya acxel sering membelikan es krim untukku. Ceritakan padaku tentang bulan Juni, katanya ayah bakal datang bulan Juni, Ibu yang pernah janji sama Lune.”
“Baiklah, ibu akan cerita. Duduklah di pangkuan ibu.”
Kupegang tangannya dan ku elus-elus rambutnya yang flaxen itu. Aku pun cerita tentang bulan Juni.
***
Aku cerita tentang kisah cintaku bersama Robert. Lune anak kecil yang akan mendengarkannya. Aku tak peduli. Begitu memori ini kuluapkan kepada orang, ringanlah beban pikiranku di Bulan Juni.
Aku kenal Robert sejak bangku Sekolah Tinggi. Dia begitu manis. Badannya kekar dan dia atlit gulat SMA. Dibalik kekekaran dan kasarnya Jenggot milik Robert, tersimpan senyum manis dan menawan hati.
Aku dan dia lulus bersamaan. Aku melanjutkan ke Universitas California, aku ambil jurusan literacy. Pemerintah Amerika Serikat mewajibkan laki-laki seusia dia harus ke akademi Militer. Keluarga Robert menyetujui dan Robert masuk ke jurusan Asia. Ya, dulu Sekutu harus menyerang dua sisi dunia. Lewat Eropa dan lewat Pasifik. Robert mengambil divisi tentara marinir yang akan menyerang lewat Pasifik.
Empat tahun aku dan Robert masih bersama-sama. Di setiap weekend Robert selalu mengajakku ke danau dekat Wisconsin. Bahkan bulan Juni, danau itu tampak indah dengan pantulan sinar bulan di riak-riak airnya. Aku mencintai Robert. Robert selalu menceritakan sebuah kisah akan Asia yang indah dan dia berjanji akan mengajakku kesana.
“Kalau aku berjaya, aku ingin bersamamu ke Asia. Ada banyak tempat indah disana! Aku bisa mengajakmu ke Filipina, Thailand, atau Indocina. Disana banyak tebing tinggi yang akan membawa kita melihat dunia. Burung Camar selalu mencericit. Pohon Kelapa melambaikan jari-jari daunnya. Kita bisa menikmati hari dengan pemandangan indah di depan mata. Asia itu indah!”
Aku begitu terlarut ketika mendengar ajakan itu. Betapa pengetahuan Robert akan tempat indah di Asia membuatku terus mengaguminya. Aku memang belum pernah ke Asia. Hanya karena ucapan Robert, aku begitu yakin kalau Asia memang Indah. Robert memang sesosok yang all out dan tak pernah meminta kepadaku akan sebuah tanda kasih. Hanya memberi tanpa harap sesuatu dariku. Ya, yang dapat kuberikan hanyalah diriku ini, jiwa raga ini.
***
Juni 1943. Ia masih dilatih divisi itu. Setiap weekend adalah waktu luang untuk calon serdadu. Ia selalu mengajakku ke danau. Bahkan tak hanya ke danau, ia pernah mengajakku menyaksikan teater di panggung California. Setiap weekend selalu berkesan bagiku akan sebuah makna cintaku bersamanya. Jemari kekarnya selalu menggenggam erat jemariku yang kecil ini.
Ia mengajakku ke taman kota. Taman kota nampak sepi. Ia mengatakan hal yang begitu menggembirakan bagiku. “Brenda, maukah kau menikah denganku? Tetapi kau harus sabar menungguku. Setahun atau bahkan kurang dari setahun lagi aku akan pergi berperang. Aku yakin, tentara Jepang banyak yang mati di tanganku, dan aku akan pulang membawa kejayaan dan kebahagian. Aku janji. Kita bisa pergi ke Asia berdua.”
“Aku mau menikah denganmu. Aku akan setia menunggumu.”
Aku begitu gembira dengan ajakan Robert. Aku serasa melayang dan Taman Kota seperti tempat yang terindah di dunia. Robert menggandeng tanganku. Ia mengajakku ke sebuah losmen. Aku menikmati malam bersamanya. Aku bersenggama dengannya. Tak peduli akan keadaan perang yang akan diarungi Robert. Aku begitu menikmati sesuatu yang disebut anugerah itu. Ya, inilah surga. Surga itu adalah masuknya keindahan yang dimiliki Robert kedalam tubuhku yang tak melawan ini. Terbuang jauh pikiran kalau setahun lagi ia akan pergi. Aku masih berpikir masih ada setahun. Juni, begitu indah bersamanya. Juni, Bulan bak tempat tidur. Hanya ada Robert dan aku di tempat tidur itu.
Esok harinya aku dan keluargaku beserta keluarga Robert menyepakati pernikahanku dengannya. Hari minggu, tepatnya tiga hari setelah kesepakatan itu, aku menikah dengan Robert. Gereja nampak begitu semarak dengan bunga-bunga. Lonceng-lonceng begitu semangat berbunyi seakan memberi ucapan selamat kepadaku. Aku bahagia. Aku melayang. Aku bersuami. Robert Guarnere.
Februari 1944. Tak kusangka ia akan pergi. Aku positif hamil. Aku menangis. Aku bahagia. Air mataku terasa tawar tidak lagi asin. Ya, itulah air mata bahagia. Sekejap kebahagiaan itu akan bercampur dengan kesedihan. Robert akan pergi sebentar lagi. “Hah? Aku akan menjadi ayah! Aku akan menjadi ayah! Brenda, aku pasti kembali untuk melihat anak kita!”
“Robert, akupun bahagia, tetapi aku berat sekali untuk melepasmu di medan yang sarat akan teriakan dan dentuman peluru-peluru.”, aku baru terpikir akan situasi menyeramkan tentang peperangan. Perang, disanalah setan-setan beradu. Peluru, misil, dan bom hanya akan menghasilkan teriakan, luka, kematian, dan tangis. Begitu seramnya medan itu. Aku takut kehilangannya.
“Ini tugas negara, aku mencintaimu Brenda, aku berjanji aku akan jaga keselamatanku. Aku akan kembali, kelak ketika anak kita lahir berilah nama Lune kalau ia seorang perempuan dan Jupiter kalau ia seorang laki-laki! Lune berarti Bulan dan Jupiter berarti perkasa.”
***
Kuantarkan Robert ke barak. Sebelum berpisah kami berpelukan. Sapuan bibir dan hangatnya pelukan menjadi sebuah bakaran semangat untuknya, aku yakini itu.
Esoknya, Robert pergi meninggalkan Amerika. Kulihat kapal perang yang membawa Robert. Kapal itu wajahnya garang seakan-akan galak kepadaku. Kapal itu seakan melarangku untuk melambaikan tangan sebagai salam perpisahan.
Aku takut. Aku merasa sendiri. Aku tak tahu apakah sendiri sampai akhir hayat atau Robert akan kembali? Ah, aku yakin Robert pasti kembali. Tetapi kandungan ini butuh wajah Ayahnya. Ya, aku akan melahirkan anakku tanpa seorang Robert disisiku. Divisi tentaranya begitu disiplin sehingga tidak memungkinkan berkirim surat dengan Robert. Surat hanya dapat dikirim kalau divisinya memasuki Pulau Saipan karena pulau itulah yang memungkinkan akses kurir pos menemui divisi marinir.
November 1944. Saatnya bagiku untuk melahirkan. Hari ini 12 November 1944. Anakku perempuan. Lune Guarnere. Itulah namanya. Aku bahagia tetapi aku tidak bisa memberikan kabar untuk Robert. Divisi tentara itu menutup diri untuk menerima surat kabar dariku walaupun aku telah menulisnya. “Selamat sayang! Anakmu perempuan!”. Surat itu hanya tertahan dalam tumpukkan kertas yang ada di rumah.
Juni 1945. Gerai-gerai kemenangan telah terdengar di telinga warga Amerika. Bulan kembali bersinar seperti biasanya. Kupandagi taman kota sambil kugendong Lune yang berusia tujuh bulan. Bulan itu seperti wajah Robert yang tersenyum padaku.
***
Agustus 1945. Pihak sentral menerima kekalahannya yang ditandai dengan kalahnya Jepang di tangan Sekutu. Robert bertugas di Filipina. Seminggu setelah kabar itu pemerintah menjanjikan akan kabar-kabar serdadu untuk keluarganya. Setelah seminggu itu berjalan, banyak istri yang bertemu dengan suaminya para marinir. Tetapi aku tak menemukannya. Banyak orang tua bertemu dengan anaknya. Tetapi orangtua Robert yang saat ini bersamaku pun tidak menemukan Robert. Badan kekarnya tidak nampak, yang ada hanya badan kekar serdadu lainnya yang tidak sekekar Robert. Tiba-tiba saja seorang kurir pos mengantarkan surat berlabel kenegaraan.
“Maaf karena telah memberikan kabar yang kurang berkenan. Saudara Robert Guarnere telah menunaikan tugas dan gugur sebagai pembela Amerika.”
Memang singkat surat itu. Aku kaget dan hanpir pingsan. Bertahun-tahun aku selalu berlarut dalam tangis. Aku bahkan tak setabah orang tua Robert. Aku hanya bisa membesarkan Lune seorang diri. Aku hanya akan bersabar hingga Lune menemukan sosok ayah yang lain, tetapi aku begitu mencintai Robert. Aku menangis. Tangisku mungkin akan menjadi sungai yang mengalir ke Asia. Air mataku pahit, tanda kehilangan yang besar.
***
Ah, aku gamblang sekali menceritakan hal ini kepada seorang anak kecil. Tetapi Lune tertidur pulas. Aku gendong Lune dan kubawa ke kamar dan kubaringkan. Aku kecup keningnya yang masih halus sambil kubisikkan, “Semoga Bulan Junimu menyenangkan.”. Aku berbaring disampingnya dan melihat pancaran sinar bulan masuk melalui jendela. Aku pandangi salib. Sejenak aku berdoa, semoga sesosok Robert yang sama persis, hadir kembali di dalam hidupku. Lune harus memiliki ayah yang sama persis seperti Robert.
Cilandak, 19 Oktober 2010
Agustinus Norman Mahardhika
Mencoba menulis kisah cinta yang terjadi pada masa perang dunia kedua.
Semoga anda menikmati cerita ini.

Lune. Gadis kecil berusia enam tahun. Dia adalah anak tunggalku. Wajahnya adalah cerminan dari wajahku, ibunya. Rambutnya yang flaxen dan pirang. Hidungnya seperti hidung ayahnya. Ah, ayahnya, seseorang yang menjadi pujaan hatiku sepanjang masa. Kini, suamiku, Robert berada di alam yang berbeda denganku. Lune, gadis kecil yang selalu bertanya tentang bulan indah ini; Bulan Juni. Ya, dia selalu penasaran dengan bulan Juni. Aku selalu melamun ketika bulan Juni. Air mataku selalu berlinang di bulan Juni. Aku selalu teringat akan sesosok Robert. Robert Guarnere, dia keturunan Prancis.
Aku dan Lune bak burung kondor yang hanya hidup dengan anaknya tanpa kehadiran sesosok pemimpin dalam keluarga. Ah, Juni. Terkadang aku begitu merindukan bulan Juni. Ketika bulan Juni datang, aku justru ingin keluar dari waktu-waktu di Bulan Juni. Tiga Juni. Hari itu hari Senin.
Lune selalu bertanya di setiap malam sebelum ia pergi tidur. Lune selalu menanyakan siapakah ayahnya. Lune selalu merasa tidak lazim karena teman-teman sebayanya di sekolah memiliki ayah, sedangkan Lune tidak. Lune memang pernah memiliki ayah. Lune belum pernah melihat ayahnya. Robert pun belum pernah melihat Lune, anaknya yang tunggal itu.
Setiap malam bulan Juni adalah malam indah karena sinar bulan selalu tersenyum di atas rumah ini. Kuajak Lune melihat sinar bulan di teras rumah. Lune hanya lugu mendengarkan ceracauku, khayalanku untuk bisa meraih bulan itu karena bulan itu selalu mengingatkan Robert, suamiku yang pergi entah kemana.
“Lihatlah, anakku, bulan itu penuh dan begitu terang, aku jadi teringat akan Robert, ialah ayahmu nak.”
“Kenapa ibu tidak pernah menceritakan cerita tentang ayah? Lune punya ayah kan? Teman-teman Lune di sekolah punya ayah. Lune ingin melhat ayah!”
“Nak, kelak ketika kamu cukup umur, kamu akan mengerti, siapakah ayahmu itu.”
“Ibu, Lune ingin bertemu ayah, pasti ia mengendarai mobil, pasti ia memiliki jenggot, pasti ia selalu menggandeng tanganku kalau ia mengantarku ke sekolah. Ibu, Lune ingin melihat ayah!”
Setiap hari bulan selalu menampakkan wajahnya di bulan Juni. Juni, ialah bulan yang menyiksaku karena membuatku terkungkung dalam memori indah bersama Robert. Juni, bulan yang membuatku gila. Aku meracau, mengkhayal, berteriak-teriak, dan aku membayangkan Robert memelukku, membagi sapuan bibirnya untukku, dan perlahan membopongku ke kamar untuk menikmati hal yang manusiawi. Aku gila!
Aku gila! Ya aku selalu mengkhayal seperti orang kehilangan arah mimpinya. Tetanggaku memang pernah mengatakan kepadaku supaya aku mencari pengganti sosok Robert. Memang banyak orang yang menyarankan supaya aku segera menikah. Mereka para istri yang senasib denganku sudah menikah. Hanya aku yang menikmati pilihanku yang sedikit gila ini. Aku tak ingin menikah sebelum Robert yang lama ataupun baru merajai hatiku ini. Robert sosok yang sempurna bagiku. Laki-laki lain tidak segagah Robert. Laki-laki lain tidak setampan Robert. Mungkin saja ada tetapi Robertlah yang jadi sosok sempurna bagiku. Hanya ingin sendiri dan sendiri sebelum bulan melemparkan Robert kembali entah bagimana caranya.
Ah, hidup normal. Bersuami dan anggota keluarga selalu lengkap. Aku bukan tak peduli akan kelengkapan anggota keluarga. Aku hanya belum ingin bersuami sebelum Robert datang dan memlukku lagi. Robert Guarnere, atau Robert bla..bla…bla. Pokoknya harus sama sosoknya seperti Robert.
“Ibu, ceritakan padaku tentang bulan Juni!” Lune seperti ingin didongengkan sebelum ia menuju alam mimpi indahnya sebagai anak kecil.
Air mataku menetes. Sesegera mungkin aku menghapus air mata itu dan Lune begitu penasaran.
“Mengapa Ibu menangis? Ayolah bu, ceritakan padaku!”, Lune kian memaksaku. Aku tak ingin bayang-bayang Robert selalu ada di pikiranku.
“Nak, kalau bulan Juni, ibu selalu teringat bayang-bayang wajah ayahmu! Ibu tidak sanggup cerita dengan bayang-bayang wajah ayahmu!”
“Kalau Ibu tak mau cerita, Lune lebih baik main ke rumah Acxel, ayahnya Acxel begitu baik dan aku ingin punya ayah! Ayahnya acxel sering membelikan es krim untukku. Ceritakan padaku tentang bulan Juni, katanya ayah bakal datang bulan Juni, Ibu yang pernah janji sama Lune.”
“Baiklah, ibu akan cerita. Duduklah di pangkuan ibu.”
Kupegang tangannya dan ku elus-elus rambutnya yang flaxen itu. Aku pun cerita tentang bulan Juni.
***
Aku cerita tentang kisah cintaku bersama Robert. Lune anak kecil yang akan mendengarkannya. Aku tak peduli. Begitu memori ini kuluapkan kepada orang, ringanlah beban pikiranku di Bulan Juni.
Aku kenal Robert sejak bangku Sekolah Tinggi. Dia begitu manis. Badannya kekar dan dia atlit gulat SMA. Dibalik kekekaran dan kasarnya Jenggot milik Robert, tersimpan senyum manis dan menawan hati.
Aku dan dia lulus bersamaan. Aku melanjutkan ke Universitas California, aku ambil jurusan literacy. Pemerintah Amerika Serikat mewajibkan laki-laki seusia dia harus ke akademi Militer. Keluarga Robert menyetujui dan Robert masuk ke jurusan Asia. Ya, dulu Sekutu harus menyerang dua sisi dunia. Lewat Eropa dan lewat Pasifik. Robert mengambil divisi tentara marinir yang akan menyerang lewat Pasifik.
Empat tahun aku dan Robert masih bersama-sama. Di setiap weekend Robert selalu mengajakku ke danau dekat Wisconsin. Bahkan bulan Juni, danau itu tampak indah dengan pantulan sinar bulan di riak-riak airnya. Aku mencintai Robert. Robert selalu menceritakan sebuah kisah akan Asia yang indah dan dia berjanji akan mengajakku kesana.
“Kalau aku berjaya, aku ingin bersamamu ke Asia. Ada banyak tempat indah disana! Aku bisa mengajakmu ke Filipina, Thailand, atau Indocina. Disana banyak tebing tinggi yang akan membawa kita melihat dunia. Burung Camar selalu mencericit. Pohon Kelapa melambaikan jari-jari daunnya. Kita bisa menikmati hari dengan pemandangan indah di depan mata. Asia itu indah!”
Aku begitu terlarut ketika mendengar ajakan itu. Betapa pengetahuan Robert akan tempat indah di Asia membuatku terus mengaguminya. Aku memang belum pernah ke Asia. Hanya karena ucapan Robert, aku begitu yakin kalau Asia memang Indah. Robert memang sesosok yang all out dan tak pernah meminta kepadaku akan sebuah tanda kasih. Hanya memberi tanpa harap sesuatu dariku. Ya, yang dapat kuberikan hanyalah diriku ini, jiwa raga ini.
***
Juni 1943. Ia masih dilatih divisi itu. Setiap weekend adalah waktu luang untuk calon serdadu. Ia selalu mengajakku ke danau. Bahkan tak hanya ke danau, ia pernah mengajakku menyaksikan teater di panggung California. Setiap weekend selalu berkesan bagiku akan sebuah makna cintaku bersamanya. Jemari kekarnya selalu menggenggam erat jemariku yang kecil ini.
Ia mengajakku ke taman kota. Taman kota nampak sepi. Ia mengatakan hal yang begitu menggembirakan bagiku. “Brenda, maukah kau menikah denganku? Tetapi kau harus sabar menungguku. Setahun atau bahkan kurang dari setahun lagi aku akan pergi berperang. Aku yakin, tentara Jepang banyak yang mati di tanganku, dan aku akan pulang membawa kejayaan dan kebahagian. Aku janji. Kita bisa pergi ke Asia berdua.”
“Aku mau menikah denganmu. Aku akan setia menunggumu.”
Aku begitu gembira dengan ajakan Robert. Aku serasa melayang dan Taman Kota seperti tempat yang terindah di dunia. Robert menggandeng tanganku. Ia mengajakku ke sebuah losmen. Aku menikmati malam bersamanya. Aku bersenggama dengannya. Tak peduli akan keadaan perang yang akan diarungi Robert. Aku begitu menikmati sesuatu yang disebut anugerah itu. Ya, inilah surga. Surga itu adalah masuknya keindahan yang dimiliki Robert kedalam tubuhku yang tak melawan ini. Terbuang jauh pikiran kalau setahun lagi ia akan pergi. Aku masih berpikir masih ada setahun. Juni, begitu indah bersamanya. Juni, Bulan bak tempat tidur. Hanya ada Robert dan aku di tempat tidur itu.
Esok harinya aku dan keluargaku beserta keluarga Robert menyepakati pernikahanku dengannya. Hari minggu, tepatnya tiga hari setelah kesepakatan itu, aku menikah dengan Robert. Gereja nampak begitu semarak dengan bunga-bunga. Lonceng-lonceng begitu semangat berbunyi seakan memberi ucapan selamat kepadaku. Aku bahagia. Aku melayang. Aku bersuami. Robert Guarnere.
Februari 1944. Tak kusangka ia akan pergi. Aku positif hamil. Aku menangis. Aku bahagia. Air mataku terasa tawar tidak lagi asin. Ya, itulah air mata bahagia. Sekejap kebahagiaan itu akan bercampur dengan kesedihan. Robert akan pergi sebentar lagi. “Hah? Aku akan menjadi ayah! Aku akan menjadi ayah! Brenda, aku pasti kembali untuk melihat anak kita!”
“Robert, akupun bahagia, tetapi aku berat sekali untuk melepasmu di medan yang sarat akan teriakan dan dentuman peluru-peluru.”, aku baru terpikir akan situasi menyeramkan tentang peperangan. Perang, disanalah setan-setan beradu. Peluru, misil, dan bom hanya akan menghasilkan teriakan, luka, kematian, dan tangis. Begitu seramnya medan itu. Aku takut kehilangannya.
“Ini tugas negara, aku mencintaimu Brenda, aku berjanji aku akan jaga keselamatanku. Aku akan kembali, kelak ketika anak kita lahir berilah nama Lune kalau ia seorang perempuan dan Jupiter kalau ia seorang laki-laki! Lune berarti Bulan dan Jupiter berarti perkasa.”
***
Kuantarkan Robert ke barak. Sebelum berpisah kami berpelukan. Sapuan bibir dan hangatnya pelukan menjadi sebuah bakaran semangat untuknya, aku yakini itu.
Esoknya, Robert pergi meninggalkan Amerika. Kulihat kapal perang yang membawa Robert. Kapal itu wajahnya garang seakan-akan galak kepadaku. Kapal itu seakan melarangku untuk melambaikan tangan sebagai salam perpisahan.
Aku takut. Aku merasa sendiri. Aku tak tahu apakah sendiri sampai akhir hayat atau Robert akan kembali? Ah, aku yakin Robert pasti kembali. Tetapi kandungan ini butuh wajah Ayahnya. Ya, aku akan melahirkan anakku tanpa seorang Robert disisiku. Divisi tentaranya begitu disiplin sehingga tidak memungkinkan berkirim surat dengan Robert. Surat hanya dapat dikirim kalau divisinya memasuki Pulau Saipan karena pulau itulah yang memungkinkan akses kurir pos menemui divisi marinir.
November 1944. Saatnya bagiku untuk melahirkan. Hari ini 12 November 1944. Anakku perempuan. Lune Guarnere. Itulah namanya. Aku bahagia tetapi aku tidak bisa memberikan kabar untuk Robert. Divisi tentara itu menutup diri untuk menerima surat kabar dariku walaupun aku telah menulisnya. “Selamat sayang! Anakmu perempuan!”. Surat itu hanya tertahan dalam tumpukkan kertas yang ada di rumah.
Juni 1945. Gerai-gerai kemenangan telah terdengar di telinga warga Amerika. Bulan kembali bersinar seperti biasanya. Kupandagi taman kota sambil kugendong Lune yang berusia tujuh bulan. Bulan itu seperti wajah Robert yang tersenyum padaku.
***
Agustus 1945. Pihak sentral menerima kekalahannya yang ditandai dengan kalahnya Jepang di tangan Sekutu. Robert bertugas di Filipina. Seminggu setelah kabar itu pemerintah menjanjikan akan kabar-kabar serdadu untuk keluarganya. Setelah seminggu itu berjalan, banyak istri yang bertemu dengan suaminya para marinir. Tetapi aku tak menemukannya. Banyak orang tua bertemu dengan anaknya. Tetapi orangtua Robert yang saat ini bersamaku pun tidak menemukan Robert. Badan kekarnya tidak nampak, yang ada hanya badan kekar serdadu lainnya yang tidak sekekar Robert. Tiba-tiba saja seorang kurir pos mengantarkan surat berlabel kenegaraan.
“Maaf karena telah memberikan kabar yang kurang berkenan. Saudara Robert Guarnere telah menunaikan tugas dan gugur sebagai pembela Amerika.”
Memang singkat surat itu. Aku kaget dan hanpir pingsan. Bertahun-tahun aku selalu berlarut dalam tangis. Aku bahkan tak setabah orang tua Robert. Aku hanya bisa membesarkan Lune seorang diri. Aku hanya akan bersabar hingga Lune menemukan sosok ayah yang lain, tetapi aku begitu mencintai Robert. Aku menangis. Tangisku mungkin akan menjadi sungai yang mengalir ke Asia. Air mataku pahit, tanda kehilangan yang besar.
***
Ah, aku gamblang sekali menceritakan hal ini kepada seorang anak kecil. Tetapi Lune tertidur pulas. Aku gendong Lune dan kubawa ke kamar dan kubaringkan. Aku kecup keningnya yang masih halus sambil kubisikkan, “Semoga Bulan Junimu menyenangkan.”. Aku berbaring disampingnya dan melihat pancaran sinar bulan masuk melalui jendela. Aku pandangi salib. Sejenak aku berdoa, semoga sesosok Robert yang sama persis, hadir kembali di dalam hidupku. Lune harus memiliki ayah yang sama persis seperti Robert.
Cilandak, 19 Oktober 2010
Agustinus Norman Mahardhika
Mencoba menulis kisah cinta yang terjadi pada masa perang dunia kedua.
Semoga anda menikmati cerita ini.


Langganan:
Postingan (Atom)